Selasa, 05 Oktober 2010

BASTIAN TITO
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
1
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Episode : Bujang Gila Tapak Sakti
SATU
Angin malam bertiup dingin. Tanpa desau dan tak mampu menimbulkan suara
gemerisik pada daun-daun pepohonan di puncak gunung Mahameru. Biasanya
kesunyian yang dibalut udara dingin ini akan berlangusng sampai menjelang pagi
ketika burung-burung atau binatang hutan lainnya mulai mengeluarkan suara
menyongsong terbitnya sang surya. Namun sekali ini baru saja beberapa saat lewat
tengah malam tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh langkah-langkah aneh yang datang
dari lereng sebelah selatan. Suara itu bukan suara kaki-kaki kuda. Di antara suara
langkah yang terus menurut itu sesekali terdengar suara orang tertawa. Manusia gila
dari mana yang tertawa di malam buta di puncak gunung yang gelap dan dingin
begitu rupa?
Suara dalam kegelapan itu bergerak ke arah puncak gunung. Tak lama
kemudian samar-samar kelihatan satu pemandangan yang sulit dipercaya. Suara
langkah-langkah kaki tadi ternyata adalah suara langkah kaki seekor keledai bertubuh
pendek dan kurus. Binatang ini bergerak menembus kegelapan malam dan dinginnya
udara. Di atas gigih tubuhnya yang kurus dan pendek itu sungguh kontras tampak
duduk seorang bertubuh gemuk luar biasa. Orang ini mengenakan celana hitam yang
sangat komprang tapi karena tubuhnya yang luar biasa gendut itu maka celana besar
itu tetap saja kesempitan. Begitu juga baju putihnya yan gbesar dan tak dapat
dikancing hingga dada dan perutnya yang gembrot tersembul keluar.
Si gemuk ini memiliki sepasang mata sipit sedang rambutnya yang berwarna
putih disanggul di atas kepala. Melihat keadaan rambutnya jelas dia sudah berusia
lanjut.
Dengan berjalan kaki saja seorang akan mengalami kesulitan untuk mendaki
gunung Mahameru apalagi menunggang keledai kurus kecil seperti itu. Dan
penunggangnya memiliki bobot gemuk luar biasa pula, lebih dari 200 kati! Namun
keledai dan penunggangnya itu kelihatan enak saja mendaki dan bergerak menuju
puncak gunung Mahameru. Malah si gendut ini menunggangi binatang itu sambil
tertawa-tawa. Di punggungnya dia memanggul sebuah karung besar yang entah apa
isinya. Yang jelas isi karung itu kelihatan tiada henti-hentinya bergerak-gerak.
Sesekali terdengar suara bergedebuk, seolah-olah ada seorang yang menendang atau
meninju dari dalam karung itu. Sebaliknya si genut ini tetap saja tenang-tenang di atas
punggung keledainya seolah tak ada terjadi apa-apa dan gayanya seperti orang yang
tengah berjalan sambil memperhatikan pemandangan indah di sekelilingnya, padahal
saat itu malam gelap gulita dan dinginya udara menembus jagat dan daging sampai ke
tulang belulang. Malah kemudian setiap terdengar suara gedebuk dia keluarkan tawa
mengekeh.
“Gebukanmu kurang keras. Tendanganmu kurang kencang! Aku seperti
digelitik saja! Ayo gebuk, pukul lebih kuat! Ha….ha…..ha…..!” si gendut berkata
lalu menutup ucapannya dengan suara tawa membahana di seantero lereng gunung di
mana dia berada.
Hebatnya, semakin tinggi ke atas gunung semakin cepat langkah keledai
pendek dan kurus itu. Si gendut yang menungganginya kini malah tampak
cengengesan sambil bersiul-siul kecil. Saat itulah terlihat ada keanehan lain. Manusia
gemuk ini nukan benar-benar duduk menunggang di atas punggung keledai. Tapi
BASTIAN TITO 2
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ternyata pantatnya hanya sekedar menempel saja karena kedua kakinya yang besar
berat menjejak tanah! Jadi dia hanya mengepit tubuh binatang tunggangannya sedang
kedua kakinya melangkah lincah sambil menjepit dan membimbing langkah si keledai.
Semakin jauh dan tinggi ke atas semakin keras dan sering gerakan-gerakan
benda di dalam karung. Gebukan dan tendangan semakin sering menimpa tubuh
orang gemuk berambut putih itu. Namun dia tetap anteng-anteng saja. Akhirnya
bersama keledainya dia sampai di puncak sebelah timur gunung Mahameru. Meski
dari kawah keluar uap yang menyebar hawa panas, tetapi di tempat di mana si gendut
dan keledainya berada udara terasa sangat dingin. Keringatnya yang membasahi tubuh
di gendut seolah telah berubah sedingin es! Gilanya seperti tidak merasakan udara
dingin yang bisa membuat orang beku itu, si gendut mulai menyanyi-nyanyi kecil
sambil menurunkan karung besar yang sejak tadi dipanggulnya lalu melemparkannya
ke tanah.
Dari dalam karung terdengar suara yang tidak jelas. Seperti mengeluh dan
mengomel. Tiba-tiba karung yang berisi benda yang selalu bergerak itu bergulingan
ke arah si gendut. Apapun benda yang ada di dalamnya, gerakan berguling itu bukan
gerakan biasa. Benda apa saja yang kena ditabraknya pastilah akan mengalami cidera
berat.
Si gendut di atas punggung keledai sesaat mengernyitkan kedua matanya yang
sipit. Lalu dia mengumbar suara tertawa panjang. “Dasar anak gendeng! Dibungkus
dalam karung saja kau masih hendak melawan! Tidak tahu kesalahan! Tidak sadar
telah berbuat dosa besar! Kau tunggu saja! Sebentar lagi kau akan terima
hukumanmu!” Habis mengomel seperti itu manusia gendut ini lalu tertawa gelakgelak.
Sungguh aneh! Sedang marah atau sedang bagaimanakah dia ini sebenarnya.
Sementara itu karung yang berguling menyambar ke arah si gendut
mengeluarkan suara menderu. Si gendut gerakkan kedua kakinya. Tubuhnya secepat
kilat berputar aneh. Keledai yang ditungganginya juga ikut berputar. Buntalan karung
lewat satu jengkal di sampingnya lalu menghantam sebatang pohon.
Braaak!
Batang pohon itu mengeluarkan suara berderak. Kulit luarnya hancur
berkeping-keping. Dari dalam karung terdengar suara seperti orang merintih tapi juga
seperti menggerendeng!
Si gendut tertawa memecah kesunyian. Dia tampak turun dari keledainya
padahal sebenarnya dia hanya melangkah mundur lalu bergerak mendekati karung
yang terhampar tak jauh dari pohon yang barusan ditabraknya. Dia membungkuk
membuka tali ikatan karung lalu dengan gerakan cepat dia menarik ke atas bagian
bawah karung hingga apa yang menjadi isinya menggelinding jatuh ke tanah. Dan
astaga!
Ternyata yang keluar dari karung itu adalah sosok tubuh seorang anak lelaki
berusia sekitar 10 tahun. Tak kalah hebatnya dengan lelaki gendut berpakaian sempit
itu si anak juga memiliki badan luar biasa gemuknya. Dia hanya mengenakan sehelai
cawat hingga dadanya yang gembrot dan perutnya yang gendut kelihatan jelas
menggelembung. Saking gendut anak ini kelihatan seolah-olah tak berleher. Dagu dan
dadanya menggempal jadi satu. Anehnya wajah dan tubuhnya tampak berkeringatan
padahal udara di tempat itu dingin luar biasa!
Keningnya kelihatan benjut. Mungkin ini akibat benturan dengan batang
pohon tadi. Jika batang pohon bisa hancur sedang si anak Cuma benjut keningnya
jelas ada satu kehebatan pada dirinya.
Dengan sepasang matanya yang besar anak ini memandang marah pada orang
di depannya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar dan terdengar suara tidak jelas
BASTIAN TITO 3
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
seperti suara orang gagu. Tubuhnya yang terhampar di tanah bergerak bangkit seperti
mencoba hendak duduk. Tapi tubuh itu kemudian roboh kembali. Sepasang tangannya
meninju-ninju sedang kedua kakinya yang besar menendang-nendang. Si anak
keluarkan suara menggerung dari tenggorokkannya.
“Buntalan jelek bau apek! Ha....ha....ha....! Ayo menarilah terus!
Ha...ha...ha...!” Si gendut bermata sipit mengejek dan tertawa gelak-gelak.
Sebaliknya si gendut bermata besar tampak beringas. Dia julurkan lidahnya
lalu tiba-tiba sekali tubuh itu menggelinding cepat ke arah orang yang menertawainya.
Kedua kakinya berkelebat demikian rupa. Walau gerakan kedua kakinya jelas kaku
namun dari derasnya suara angin jelas gerakan anak ini mengandung tenaga yang
berbahaya. Apabila setengah jalan menyusul kedua tangannya ikut bergerak.
“Bocah edan!” teriak teriak si gendut yang diserang. Dia mengomel tapi
kemudain tertawa mengekeh. Dengan sekali bergerak saja dia berhasil mengelakkan
serangan si anak. Tetapi sebelum dia sempat berbalik tahu-tahu bocah gendut itu telah
berputar lebih dulu dan kembali bergulingan menyerbunya!
Bukkk!
Satu tendangan menghantam lekukan kaki tapat di belakang kedua lutut si
gendut. Tak ampun lagi tubuh yang berat besar itu ambruk jatuh duduk di tanah.
Jatuh bergedebruk si gendut tampak sangat marah tapi lagi-lagi aneh. Dari
mulutnya yang terdengar bukan suara caci maki malah suara tertawa bergelak!
Tapi tiba-tiba sekali tubuh yang menjelepok di tanah itu berputar, lalu melesat
dan tahu-tahu tanagn kanan si gendut sudah menjambak rambut anak lelaki gemuk
bercawat itu dan plak-plak. Tangan kirinya menampar pipi kiri kanan si anak!
Yang ditampar sama sekali tidak kelihatan kesakitan malah mulutnya
menyunggingkan seringai. Tiba-tiba dia mengulurkan lidahnya panjang-panjang.
Mencibir mengejek!
Plak!
Si gendut berambut putih tampar satu kali lagi pipi anak itu. Kali ini si bocah
tidak tinggal diam. Dengan gerakan kaku dia sentakkan kepalanya hingga jambakan si
gendut terlepas. Lalu secepat kilat anak ini susupkan kepalanya ke selangkangan
orang. Si gendut menjerit keras sewaktu ada yang menggigit salah satu bagian rahasia
di bawah perutnya!
“Putus burungku!” jerit si gendut seraya melompat mundur. Di bawah sebatan
pohon dia tanggalkan celana lalu membulak-balik, menarik-narik memeriksa.
“Ah.... ” dia menarik nafas lega. “Untung masih utuh ! Anak gila!” Si gendut
memaki seraya berpaling pada anak lelaki yang saat itu terduduk di tanah. “Dalam
keadaan tertotok saja dia masih mampu bergerak, memukul dan menendang. Bahkan
sempat-sempatnya hendak menggigit perkututku! Aku harus mengakui bocah sedeng
ini memang luar biasa! Kalau saja dia tidak membuat kesalahan besar rasa-rasanya
mau aku mengambilnya jadi murid…..” Si gendut memutar tubuh, melangkah
mendekati anak itu. “Santiko bocah sialan! Aku terpaksa menjatuhkan hukuman
sekarang juga!”
“Ha….huk….hak….huk!” Keluar suara seperti orang gagu dari mulut anak
lelaki sepuluh tahun yang hanya mengenakan cawat itu. Rupanya dia berusaha
mengetakan sesuatu. Tapi karena dirinya berada dalam keadaan tertotok maka dia
tidak bisa mengucapkan apa-apa. Si gendut bermata sipit tidak perdulikan gelagat itu,
dia kembali menjambak rambtu si anak. Yang dijambak coba meronta lepaskan diri
tapi si gendut tidak mau memberi kesempatan lagi. Dengan cepat dia berkelebat.
Seperti melayang bocah gembrot itu ditentengnya menuju puncak gunung. Di satu
tempat yang agak datar dia berhenti dan memandang berkeliling. Kemudian
BASTIAN TITO 4
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dilihatnya apa yang dicarinya yaitu dua buah batu hitam seperti sepasang tonggak
menancap di tanah. Si gendut membawa bocah itu ke arah dua tonggak batu ini. Di
antara celah dua batu kelihatan mengepul asap putih yang membersitkan hawa dingin
sekali. Walaupun mempunyai daya tahan luar biasa ternyata si gendut masih sempat
bergumam kedinginan. Dia katupkan rahangnya kuat-kuat agar gigi-giginya tidak
bergemeletakan.
BASTIAN TITO 5
DUA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Berdiri di antara dua buah batu hitam si gendut memandang tajam-tajam ke bagian
tanah di antara celah dua batu. Dia coba menembus lapisan asap putih dingin yang
terus-terusan menebar di tempat itu. Matanya berhasil melihat sebuah lobang di tanah
antara dua batu hitam. Rupanya dari sinilah sumber asap putih yang dingin luar biasa
itu keluar.
Si gendut cekal leher bocah bercawat dan menyeretnya ke dekat lobang.
“Ha….huk….ha…..huk…..huk!” Si bocah kembali keluarkan suara.
Si gendut tertawa lebar. Dia mengusap dagunya sesaat lalu berdiri di tepi
lobang. “Anak sableng! Sebagai orang hukuman kau masih layak mengatakan sesuatu
sebelum hukuman dijatuhkan. Ucapkan apa yang hendak kau katakan!”
Lalu si gendut ini bungkukkan badannya, mulutnya didekatkan ke salah satu
bagian leher si bocah, lantas dia meniup. Begitu angin tiupan menyambar leher si
bocah, jalan suaranya yang tertotok jadi terbuka dan si bocah itu langsung bisa bicara.
Sungguh ini merupakan kepandaian luar biasa. Melepaskan totokan hanya dengan
jalan meniup! Umumnya orang di dunia persilatan akan mempergunakan jari-jari
tangan untuk memusnahkan totokan. Siapakah sebenarnya si gendut aneh ini?
“Ayo ha huk ha huk! Totokanmu sudah kulepas! Lekas bicara kalau ada yang
mau kau bilang! Kalau tidak akan segera kupendam kau dalam lobang inti es itu!”
Sesaat anak usia sepuluh tahun bernama Santiko itu menatap berang pada si
gendut bermata sipit. Kedua matanya yang besar seperti dikobari api kemarahan.
Kemudian perlahan-lahan tatapan garang itu mengendur, wajahnya yang keringatan
kelihatan seperti redup.
“Anak aneh!” membatin si gemuk. “Bagaimana bisa di udara yang begini
dingin, dekat lobang inti es dia masih saja keringatan. Padahal aku hampir mati
kedinginan!”
“Pamanku tolol!” tiba-tiba keluar ucapan itu dari mulut si anak yang membuat
di gendut di hadapannya jadi melengak.
“Sialan! Apa katamu?”
“Pamanku tolol!” mengulang si bocah tanpa rasa takut mendengar bentakan
dan melihat tampang orang yang marah besar. “Sebetulnya apa salah saya sampai
paman hendak memendam diri saya dalam lobang inti es itu?”
“Dasar anak tak tahu diri! Goblok, sableng dan gendeng! Kau masih bertanya
apa salahmu! Gila! Apa masih perlu kusebutkan?!”
“Sebutkan saja paman, biar lebih jelas.”
“Baik!” jawab si gendut dengan nada berang tapi kembali dari mulutnya
terdengan suara tertawa bergelak. “Aku akan katakn biar jelas apa kesalahanmu!
Hingga kalaupun kau mati dalam lobang inti es ini kau tidak akan mampus penasaran!
Ha...ha...ha....!”
“Sudah. Bilang cepetan. Aku bosan mendengar suara tawamu!” kata bocah
gemuk bernama Santiko.
Si gendut di hadapannya tetap saja mengumbar tawa. Tiba-tiba suara tawanya
lenyap, berganti dengan bentakan.
“Anak setan! Kau telah melakukan kesalahan maha besar! Kau mencuri
peralatan gamelan Keraton. Sultan sangat marah. Gamelan pusaka tidak bisa
dimainkan lagi. Padahal perayaan Sekaten hanya tinggal beberapa minggu lagi! Nah
sekarang kau tahu apa kesalahanmu! Apa dosamu!”
BASTIAN TITO 6
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Santiko tampak tenang saja. Lalu dia berkata. “Ah, rupanya masalah peralatan
gamelan itu yang jadi biang kerok! Tolong paman katakan, sebenarnya peralatan apa
yang saya curi?”
“Anak iblis! Mulutmu ternyata licik! Sudah mencuri kau masih bertanya apa
yang kau curi ! Kau memang pantas dipendam dalam lobang inti es itu ! ”
“Kalau paman tidak mau mengatakan benda apa yang kucir ya sudah !
Pendam saja saya cepat-cepat dalam lobang inti es itu!”
Si gendut tertawa bergelak. “Betul, memang betul! Sebaiknya kupendam saja
kau saat ini juga! Tapi biar kuberi kesempatan lagi! Ada yang masih hendak kau
katakan?!”
“Ya….”
“Apa?!”
“Kau memang paman tolol!”
“Bocah sialan!” Si gendut dalam marahnya mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi. Siap menggebuk kepala si bocah, yang hendak digebuk tenang-tenang
saja malah ulurkan lidah mencibir!
Melihat hal ini si gendut turunkan tangannya dan tertawa terkekeh-kekeh.
“Apa alasanmu mengatakan aku tolol?” tanya si gendut.
“Karena kau tidak mau mengatakan benda apa yang aku curi? Padahal
sebenarnya kau sendiri tahu apa yang aku curi! Jadi kau tolol!”
“Kalau begitu kita berdua tolol. Paman dan keponakan sama-sama tolol!”
menyahuti si bocah.
Plak!
Satu tamparan melayang di pipi kanan Santiko hingga anak ini terpelanting
dan tersandar ke salah satu tiang batu dekat lobang yang mengeluarkan kepulan asap
putih.
“Sakit!” tanya si gendut.
“Lumayan....” jawab Santiko seenaknya yang membuat orang yang bertanya
jadi kembali tertawa membahak.
“Bocah sialan! Biar saat ini kukatakan padamu apa yang telah kau curi. Kau
mencuri bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog. Itu adalah dua peralatan
tabuhan gamelan yang sangat penting. Tanpa dua benda itu gamelan pusaka Keraton
tidak mungkin dimainkan! Nah kau sudah dengar apa yang aku bilang! Kau mencuri
dua buah bonang!”
“Hanya dua buah kentongan besi itu yang saya curi. Bukankah masih banyak
bonang-bonang yang lain? Mengapa sampai geger begitu?”
“Anak setan! Kalau tidak mengingat siapa ibumu sudah kupatahkan batang
lehermu saat ini juga!” teriak si gendut hampir berteriak lalu tertawa bergelak. “Coba
kau katakan, mengapa kau mencuri dua buah bonang itu?’
“Saya Cuma iseng saja paman....”
“Mencuri dua buah bonang pelengkap gamelan kramat kau katakan iseng!
Anak sialan! Ha...ha....ha.....! Hai! Katakan pada siapa dua buah bonang itu kau
berikan?”
Si bocah tidak menjawab.
“Tak kau katakanpun aku sudah tahu!” si gendut menjawab sendiri.
“Kalau paman sudah tahu mengapa musti bertanya?”
“Aku hanya memeriksa. Betul dua buah bonang pusaka itu kau berikan pada
janda muda dan cantik bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka?!”
Si bocah tertawa gelak-gelak.
“Anak setan! Kenapa kau tertawa!” bentak si gendut.
BASTIAN TITO 7
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Paman ingat sekali nama panjang perempuan itu! Hik.....hik! Pasti ada apaapanya.”
“Setan! Jangan kau berani bicara kotor!”
“Rupanya apa yang Nyi Bulan Seruni benar. Banyak orang lelaki di dalam dan
di luar Keraton tergila-gila padanya. Katanya, salah satu dari mereka adalah paman
sendiri! Hik.....hik.....hik!”
“Kau benar-benar anak setan! Perempuan itu bukan pasanganku! Usiaku
hampir delapan kali usianya!”
“Apakah itu menjadi soal? Maklum saja lelaki sekarang. Makin tua makin
menjadi. Kambing tua mana yang tidak doyan rumput segar? Hik….hik…..hik!”
“Edan! Jadi kau samakan aku dengan kambing tua?!” teriak si gendut marah.
Tapi pada akhir ucapannya dia tertawa gelak-gelak. “Anak setan, mangapa kau
mencuri dua bonang pusaka itu lalu menyerahkannya pada Nyi Bulan Seruni
Pitaloka?”
“Dia meminta tolong kepada saya untuk mengambilkan dua bonang itu. Mana
saya tega menolak….”
“Diberi hadiah apa kau olehnya? Pati kau diajak tidur!”
Santiko menyeringai. “Mauku sih begitu, tapi Nyi Bulan bilang aku masih
kecil. Nanti saja sepuluh tahun lagi katanya! Hik…hik…hik…..” Anak itu tertawa
gelak-gelak.
Si gendut juga ikut-ikutan tertawa.
“Sepuluh tahun lagi! Kalau kau masih hidup! Mungkin kau sudah keburu
mampus dalam lobang inti es itu!”
“Kalau begitu kau bisa mewakili saya mendapatkan hadiah itu….”
Si gendut kembali tertawa mengekeh mendengar kata-kata Santiko itu. Lalu
dia diam dan bertanya. “Kau sudah siap untuk kupendam?!”
“Sudah sejak tadi paman. Inilah hari sangat bersejarah….”
“Eh, bersejaah bagaimana maksudmu?!”
“Hari ini seorang paman hendak memendam hidup-hidup keponakannya
sendiri dalam lobang! Rasanya belum pernah terjadi di dunia ini….Hanya gara-gara
dua buah bonang!”
“Anak sialan! Kau bisa berkata begitu! Dua bonang itu bukan alat tetabuhan
biasa. Pusaka keramat turunan penguasa Kerajaan! Atau kau mungkin lebih suka
penguasa Keraton sendiri yang akan menabas batang lehermu?”
“Dua buah bonang besi yang tak lebih dari kentongan biasa. Apa sulitnya
membuat dan menggantikannya dengan yang baru? Bukankah banyak ahli pembuat
gamelan di tanah Jawa ini?”
“Jangan bodoh! Gamelan pusaka itu bukan buatan manusia. Tapi dibuat dan
dikirmkan oleh para dewa dari swargaloka.”
“Paman percaya hal itu?” tanya Santiko.
“Eh!” si gendut tergagu, sesaat jadi terdiam.
“Kalau tak bisa membuat yang baru, mengapa tidak mencari saja yang kini
memegangnya yaitu Nyi Bulan Seruni ? ”
“Dia mana mau mencari perempuan itu. Kabarnya dia tinggal di dasar lautan
dan sering tetirah di langit ke tujuh!”
“Percuma saja paamn digelari Dewa Ketawa. Bisanya Cuma ketawa. Cobalah
memutar otak sedikit.”
“Anak setan! Kau yang berbuat jahat, aku yang kau suruh susah! Sudah!
Jangan banyak bicara lagi. Sebelum kupendam aku tetap ingin tahu alasanmu yang
BASTIAN TITO 8
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
sebenarnya mengapa kau mau-mauan mencuri bonang-bonang itu lalu
menyerahkannya pada Nyi Bulan.”
“Sudah saya bilang janda cantik itu minta tolong. Karena merasa tidak ada
susahnya, saya menyelinap masuk Keraton dan mengambil dua benda yang
dimintanya itu.”
“Aku tidak percaya! Semudah itu kau mau mengerjakan apa yang
dimintanya....”
“Baiklah. Akan saya katakan. Dua buah bonang itu berbentuk seperti sepasang
payu dara perempuan. Nah saya anggap saja itu payu daranya Nyi Bulan. Saya lalu
mencurinya. Sebelum menyerahkan dua buah bonang itu saya usap-usap dulu, saya
ciumi. Nah apa tidak sedap? Lalu baru saya serahkan pada Nyi Bulan.”
“Anak kurang ajar!” teriak si gendut yang punya gelar Dewa Ketawa itu.
Habis berteriak dan lalu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat. Sekali sergap
saja dia sudah menjambak rambut Santiko, lalu bocah ini diseretnya ke arah lobang di
antara dua buah batu hitam berbentuk tonggak. Sampai di dekat lobang kedua
tangannya membuat gerakan seperti memijit di seluruh tubuh Santiko. Akibat pijitan
aneh ini tubuh anak itu jadi memanjang kaku laksana sebuah balok kayu. Hanya leher
dan kepalanya saja yang masih bisa digerakkan. Suaranyapun putus tak bisa bicara
lagi. Dewa Ketawa memijit dua telapak tangan si anak. Kedua tangan itu kini tampak
mengembang. Lalu dengan gerakan cepat si gendut memegang pinggang Santiko.
Anak ini dibaliknya kepala dan tangan ke bawah, kaki di atas. Sebelum
membenamkan tubuh Santiko ke dalam lobang inti es Dewa Ketawa tertawa panjang
dan berkata.
“Hukumanmu tujuh tahun dibenam dalam lobang inti es yang maha dingin.
Setelah tujuh tahun totokan di tubuhmu akan musnah dan kau bisa bebas. Itu tentu
saja kalau umurmu panjang! Selama ini tidak ada mahluk yang sanggup mendekam
begitu lama dalam lobang inti es! Satu tahun di dalam lobang inti es sama dengan
sepuluh tahun hidup di luaran. Kalau nanti kau masih hidup berarti usiamu sudah
delapan puluh tahun! Di dasar lobang kau akan menemui sejenis lumut putih. Hanya
itu satu-tunya makananmu untuk bertahan hidup. Tapi ketahuilah lumut es itu
mengandung racun jahat. Baru makan sedikit saja kau sudah menemui kematian!”
“Ha...ha...ha...ha!”
Habis tertawa panjang Dewa Ketawa menjebloskan tubuh Santiko ke dalam
lobang inti es. Mula-mula kedua tangannya masuk ke dalam lobang. Ketika kedua
telapak tangan anak ini mencapai dasar lobang ternyata di sebelah atas tubuhnya
hanya tenggelam sampai ke batas pinggang.
Dewa Ketawa kembali tertawa gelak-gelak. “Anak sialan! Kau membikin aku
susah saja! Kau bisa tenang di lobang itu sampai malaikat maut menjemput. Tapi aku
masih terus berurusan dengan Kerajaan ! Ah ! Bonang penerus slindro, bonang
penerus pelog di mana aku bisa mencarimu. Nyi Bulan Seruni Pitaloka di maan kau
bersembunyi ? ”
Setelah memperhatikan sekali lagi ke arah sosok tubuh Santiko yang
dipendam kaki ke atas kepala le bawah itu Dewa Ketawa memandang berkeliling.
Keadaan di sekitarnya masih gelap gulita serta diselimuti hawa dingin. Dia
memasukkan dua jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu meniup. Satu suitan nyaring
terdengar seperti membelah kegelapan malam. Dari arah kiri kemudian kelihatan
muncul keledai kurus pendek itu. Dewa Ketawa mengusap kepala binatang ini lalu
naik ke atas punggungnya. Seperti tadi datangnya, begitu pula dia pergi meninggalkan
puncak gunung Mahameru. Seolah duduk menunggangi keledai tetapi sebenarnya dia
BASTIAN TITO 9
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
hanya menumpangkan tubuh saja sementara kadua kakinya yang menjejak tanah
melangkah berjalan seperti biasa.
BASTIAN TITO 10
TIGA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Santiko merasa tubuhnya seperti berubah menjadi batu, mengeras dan kaku. Darah
dalam tubuhnya laksana beku dan berhenti mengalir. Kedua telapak tangannya yang
menempel di dasar lobang inti es disengat hawa dingin luar biasa. Begitu dinginnya
hingga lambat laun dia merasa seperti menempel pada bara api. Keadaannya benarbenar
sangat menderita. Apalagi dia terpendam di lobang kepala ke bawah kaki ke
atas.
Meski lobang itu agak longgar dan dia bisa bernafas leluasa namun rongga
dadanya seolah mau pecah. Setiap dia menghembuskan nafas yangkeluar adalah asap
putih dingin dan membalik menghantam wajahnya yang gembrot. Anak lelaki berusia
sepuluh tahun ini dengan segala kepandaian terbatas yang dimilikinya berusaha
mengerahkan tenaga dalam guna memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya.
Namun sia-sia belaka. Yang mampu dilakukannya adalah menggerakkan leher dan
sedikit kepala serta bernafas!
Ketika pagi tiba dan sinar matahari perlahan-lahan muncul menerangi bumi,
puncak gunung Mahameru itu terasa hangat. Tetapi di dalam lobang inti es hawa tetap
saja dingin bukan main. Dari liang hidung Santiko mulai keluar darah. Darah ini
langsung membeku begitu mengalir ke bibir. Masih untung si anak bisa
menggerakkan bibirnya hingga darah yang beku mampu dijatuhkannya ke dasar
lobang. Kalau darah beku itu sampai menutupi kedua lobang hidungnya maka
celakalah dia karena akan sulit untuk bernafas.
Meski kini hari sudah siang dan matahari bersinar terang benderang namun di
dalam lobang inti es Santiko hanya mampu melihat dasar lobang secara samar-samar.
Perutnya mulai terasa perih minta diisi. Menurut Dewa Ketawa di dasar lobang itu
terdapat sejenis lumut es. Hanya itu satu-satunya benda yang bisa dimakan. Tapi
celakanya lumut itu mengandung racum mematikan!
“Nasib diriku memang sialan. Walaupun memang aku mencuri dua buah
bonang itu tapi lenih sialan lagi ada seorang paman yang tega-teganya memendamku
di lobang keparat ini! Apa yang harus kulakukan? Mati lebih cepat rasanya lebih baik
dari pada tersiksa begini! Sialan! Benar-benar sialan!”
Hawa dingin terus mengalir dari sekitar lobang dan dasar lobang di mana
kedua telapak tangan Santiko menempel.
Hawa itu mengalir melalui kedua tangannya, terus merasuk ke sekujur
tubuhnya hingga dia merasakan tubuhnya tidak seperti tubuh lagi melainkan seolah
telah berubah menjadi batu yang keras. Dan celakanya perih dalam perut besarnya
semakin menjadi-jadi. Padahal belum setengah harian dia dipendam di tempat itu.
Bocah ini mulai berpikir-pikir. “Bukankah lebih baik dia makan saja lumut es
yang ada di dasar lobang ? Hingga dia segera mati keracunan ?! ”
Tapi setelah menimbang-nimbang, bagaimanapun beraninya Santiko dia tetap
saja anak-anak yang punya rasa takut menghadapi kematian. Selama dua hari dua
malam dia bertahan terhadap dingin dan lapar. Namun memasuki hari ketiga dia tak
sanggup lagi. Apapun yang terjadi dia sudah tidak perduli lagi akan kematian.
Meskipun demikian anak nakal aneh berotak cerdik ini tidak begitu saja melahap
lumut es beracun yang ada di sekitar dasar lobang. Mula-mula dia hanya menjilatjilat
saja sekedar melenyapkan dahaga dan lapar yang menggila. Ternyata meskipun
hanya menjilat racun jahat lumut es itu membuat lidah, gusi dan bibirnya menjadi
bengkak tebal, sakit laksana disengat kalajengking. Racun yang sempat terserap air
BASTIAN TITO 11
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
liurnya menjalar ke kepala hingga bocah sepuluh tahun ini merasa kepalanya seolaholah
menjadi besar dan seperti diketok dengan palu godam!
Pemandangannyapun berkunang-kunang ditambah adanya rasa perih di kedua
matanya.
Dua hari lamanya dia mengalami sengsara seperti itu. Dari telinga dan
hidungnya mengucur darah yang segera membeku. Hari berikutnya bengkak di
seluruh mulut mulai menciut dan rasa sakit pada kepala mulai berkurang. Dua hari
setelah itu keadaanya boleh dikatakan pulih namun untuk makan lumut es itu Santiko
tidak berani. Setelah dua hari bertahan, tasa lapar dan dahaga membuat dia kembali
tak berdaya. Mau tak mau karena hanya lumut es itu satu-satunya makanan yang ada
meskipun mengandung racun jahat Santiko terpaksa kembali menjilati lumut es di
dasar lobang. Dia sudah siap sedia menghadapi apapun yang terjadi. Bahkan matipun
dia sudah pasrah.
Anak itu menjilat permukaan dasar lobang bebrapa kali. Lalu berhenti. Setelah
menunggu sekian lama tak ada yang terjadi. Lidahnya, gusi dan bibirnya tidak
bengkak. Tak ada rasa sakit seperti disengat kalajengking. Kepalanya juga tidak
berdenyut-denyut atau sakit seperti dikemplang.
“Aneh, apa yang terjadi dengan tubuhku?” membatin Santiko. “Lumut tawar
itu tidak mendatangkan cidera seprti pertama kali aku menjilatnya” Santiko coba
berpikir terus tapi dia tidak dapat memecahkan rahasia apa yang terjadi.
Sebenarnya apakah yang terjadi? Lumut es di dasar lobang inti es itu jelasjelas
mengandung racun. Ketika Santiko pertama kali menjilatnya, anak ini menjadi
bengkak mulutnya luar dalam. Kepalanya sakit bukan kepalang sedang kedua
matanya menjadi kabur dan perih. Darah mengucur dari lobang hidung dan liang
telinganya. Namun bersamaan dengan itu racun yang menjalar dalam tubuh Santiko
yang jumlahnya tidak seberapa banyak telah membuat tubuhnya membentuk kekuatan
penangkis jika racun yang sama dalam kadar yang sama kembali masuk ke dalam
tubuhnya. Dengan kata lain tertentu. Tanpa disadari Santiko inilah rupanya yang
terjadi.
Namun celakanya karena mengira lumut es itu tidak akan mencelakainya lagi
maka si anak menlahapnya dengan rakus. Beberapa saat kemudian dirasakan sekujur
tubuhnya menjadi sangat panas. Bersamaan dengan itu dirasakannya seprti ada ribuan
jarum yang menusuki badannya. Lobang yang tadinya longgar kini mendadak
dirasakannya sempit. Ini satu pertanda bahwa sekujur tubuh Santiko telah
membengkak.
Perutnya selain panas juga membelit sakit bukan kepalang.
Kepalanya seprti ditindih batu besar. Dari telinga dan hidungnya keluar darah
kental. Nafasnya menyesak sementara dadanya seprti mau pecah! Dia terbatuk-betuk
beberapa kali lelu muntah-muntah. Isi perutnya laksana mau terbongkar namun yang
keluar ternyata gumpalan-gumpalan darah! Dalam keadaan seperti itu anak ini
akhirnya jatuh pingsan.
Santiko tidak tahu berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika dia akhirnya
siuman. Dirasakannya hawa dingin mencucuk sampai ke tulang sungsumnya pertanda
hawa panas yang tadi menguasai dirinya telah lenyap. Perutnya tidak sakit lagi dan
nafasnya juga tidak sesak. Darah tidak lagi mengucur dari hidung dan telinganya.
Untuk kesekian kalinya anak ini coba memutar otak, memikirkan apa
sebenarnya yang terjadi. “Pertama kali kujilat lumut es itu mendatangkan celaka.
Kedua kali kujilat tidak apa-apa. Aku seperti kebal terhadap racun itu. Ketika kulahap
seperti orang rakus ternyata aku hampir mati dibuatnya.... Jangan-jangan..... Aku
harus mencobanya lagi.”
BASTIAN TITO 12
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kalau aku masih hidup berarti dugaanku benar. Kalau aku mati aku sudah
pasrah.
Begitulah, setelah menunggu selama tiga hari, begitu tak sanggup lagi
menahan lapar dan dahaga dia kembali melahap lumut es itu. Namun dia berlaku hatihati.
Lumut beracun itu dimakannya sedikit demi sedikit. Tidak melebihi jumlah yang
pernah dimakannya sebelumnya. Dengan hati berdebar dia menunggu. Tubuhnya
terasa panas. Tak lebih dari itu. Tak ada hal-hal lain yang terjadi. Tak ada rasa sakit
pada kepala dan perut serta dada. Juga tak ada darah yang keluar dari hidung dan
telinganya.
“Aku tahu sekarang!” kata Santiko dalam hati. “Jika kumakan lumut itu
sedikit demi sedikit berarti aku punya kekebalan terhadap sedikit racun lumut es. Jika
kutelan banyak aku akan kebal terhadap racun lumut es sampai sebanyak yang
kutelan.....! Malah tubuhku akan terasa hangat, sanggup melawan dinginnya hawa di
lobang celaka ini! Lumut es beracun! Kau tak akan sanggup membunuhku. Malah kau
memberi kekuatan hebat dalam tubuhku! Aku akan sanggup bertahan dalam lobang
celaka ini sampai kapanpun! Paman Dewa Ketawa! Kau lihat saja nanti! Aku tidak
akan menemui ajal dalam lobang inti es ini! Kau bakal menerima pembalasanku!”
Hari demi hari berlalu. Berganti minggu, berubah jadi bulan. Tanpa terasa
tujuh tahun telah berlalu sejak hari pertama Dewa Ketawa menjebloskan Santiko ke
dalam lobang inti es itu. Meskipun lumut es beracun itu selama bertahun-tahun dapat
dekendalikannya hingga tidak mendatangkan celaka, namun kesengsaraan yang
dialaminya terpendam sekian lama dalam lobang itu sulit dibayangkan.
Sekian lama dia berusaha membebaskan diri dengan mengerahkan tenaga
dalam yang dimilikinya, namun sia-sia belaka. Dia tak kunjung mampu untuk
membebaskan diri dari totokan Dewa Ketawa. Pada hari terakhir tahun ketujuh,
seperti yang dikatakan oleh Dewa Ketawa dulu, totokan yang menguasai tubuh
Santiko ternyata musnah dengan sendirinya.
Saat itu pagi menjelang siang.
Anak yang kini telah menjadi seorang pemuda tujuh belas tahun ini dengan
susah payah mengeluarkan dirinya dari dalam lobang. Selama tujuh tahun terpendam
dan hanya makan lumut es ternyata Santiko telah tumbuh menjadi seorang pemuda
bertubuh gemuk luar biasa. Tubuh yang gemuk inilah yang membuatnya susah keluar
dari lobang yang kini menjadi sangat sempit. Begitu dia akhirnya keluar, Santiko
tertawa gelak-gelak karena dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa pakaian sama
sekali. Pakaian dalam yang melekat di tubuhnya telah sejak lama hancur. Selain itu
banyak bagian tubuhnya yang telah mengalami perubahan. Dari pinggang ke atas
sampai ke wajahnya yaitu bagian yang selama tujuh tahun terpendam dalam lobang
inti es berwarna putih pucat. Cahaya matahari membaut wajahnya dan dadanya segera
menjadi kemerah-merahan.
Dari pinggang ke bawah sampai ke kaki tubuhnya kelihatan kehitam-hitaman.
Selain auratnya perubahan juga tampak pada telapak tangannya. Kedua telapak tangan
Santiko kini kelihatan putih seolah tidak berdarah. Lalu dia merasakan tubuhnya yang
kini gendut tak karuan itu enteng sekali. Walaupun berat badannya kini mungkin lebih
dari 150 kati namun gerakannya terasa tingan.
Dia coba berjingkrak-jingkrak. Tubuhnya laksana melayang. Ketika dicobanya
melompat tahu-tahu hup! Tubuh gemuk itu melayang tinggi ke udara. Dia jadi takut
sendiri. Tapi kembali dia melompat. Kali ini dia melompat dari bawah sebatang
pohon besar. Hup! Enak saja dia sampai di atas pohon dan duduk di salah satu cabang
tertinggi. Mula-mula dia agak merasa gamang. Setelah bebrapa saat tampak dia mulai
BASTIAN TITO 13
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
tertawa-tawa dan goyang-goyangkan kaki sambil memandang ke mana-mana
memperhatikan pemandangan yang indah di sekeliling puncak gunung Mahameru itu.
Puas duduk uncang-uncang kaki di atas pohon Santiko melompat turun.
Hal lain yang terasa aneh baginya ialah bahwa di udara yang sangat dingin di
puncak Mahameru itu tebuhnya terasa hangat. Malah wajahnya selalu keringatan.
Tidak dapat tidak ini tentulah akibat racun lumut es yang kini mengendap dalam
darahnya dan menjadi satu kekuatan aneh yang sanggup melawan hawa sedingin
apapun!
“Apa aku sekarang jadi seorang pemuda gendut tak karuan. Tapi menurut
paman sialan itu kini usiaku sudah delapan puluh tahun! Gila! Aku akan cari dirinya.
Akan kuhajar habis-habisan. Tapi, aku punya kepandaian app manghadapinya?”
“Dia begitu sakti!” Santiko jadi termenung sejurus. Sambil merenung tanpa
sadar dia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang putih itu satu sama lain.
Perlahan-lahan terasa ada aliran hawa dingin di antara dia telapak tangan. Bersamaan
dengan itu telapak tanagn yang tadi putih kini tampak menjadi kemerahan. Tiba-tiba
ada satu sinar membersit keluar dari celah dua telapak tangan yang digosok-gosokkan
itu. Sinar ini menghampar hawa dingin luar biasa dan melesat ke atas. Menyambar
cabang pohon besar yang tadi didudukinya.
Kraak!
Santiko gendut terperangah.
Cabang pohon itu berderak patah. Bagian yang patah lalu jatuh ke tanah.
Santiko bersurut mundur saking kagetnya. Pandangannya pulang balik pada
kedua talapak tangannya dan cabang pohon yang jatuh ke tanah.
“Tubuhku ringan, seolah aku memiliki ilmu meringankan tubuh. Lalu ada
angin bercahaya keluar dari kedua telapak tanganku. Sanggup memutus cabang pohon
sebesar paha! Eh.....apakah aku saat ini sudah jadi orang sakti?” Begitu Santiko
berkata-kata dalam hati saking heran dan bingungnya.
Tapi pemuda ini tidak hilang akal. Mudah saja untuk membuktikan kalau dia
memang benar-benar punya kesaktian. Dia melangkah mendekati pohon yang tadi
cabangnya dihantamnya hingga tumbang ke tanah. Batang pohon ini besarnya hampir
sepemelukan . Mula-mula Santiko agak bimbang.
Namun sambil menggigit bibirnya dia lalu menghantam batang pohon itu
dengan tangan kanannya.
Terjadilah hal yang mengagumkan.
Batang pohon besar itu hancur berkeping-keping. Lalu perlahan-lahan pohon
besar itu tumbang dengan mengeluarkan suara menggemuruh!
Santiko pandangi tangan kanannya. Waktu memukul tadi dan tangannya
beradu dengan batang pohon yang keras dia sama sekali tidak merasa sakit. Juga tidak
mengalami cidera sedikitpun.
Santiko berteriak keras lalu berjingkrak-jingkrak kegirangan. Dada dan
perutnya yang gembrot bergoyang-goyang.
Tiba-tiba Santiko hentikan lompatannya. Dia sadar. Kedua tangannya
ditutupkan ke bagian bawah perut lalu dia memandang berkeliling.
“Ah, untung tak ada siapa-siapa. Kalau sampai ada yang melihat diriku
melompat-lompat dalam keadaan telanjang seperti ini bisa-bisa aku dianggap setan
Mahameru! Ha...ha....ha!”
Puas tertawa pemuda ini mulai berpikir-pikir. “Aku tidak bisa begini terusterusan.
Aku harus mencari pakaian.”
“Tapi di mana ada baju dan celana di gunung ini? Berarti aku harus turun
gunung! Benar-benar gila!”
BASTIAN TITO 14
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Memikir sampai di situ Santiko bersiap-siap tinggalkan puncak gunung.
Sebelum pergi dia memandang dulu ke arah lobang init es yang selama tujuh tahun
menjadi tempatnya terpendam penuh siksaan.
“Hemmmm..... Ada baiknya aku melakukan sesuatu.” Katanya dalam hati. Dia
memandang pada kedua telapak tangannya yang putih lalu menoleh ke arah batang
pohon yang tumbang. Di mulutnya tersungging senyum. Santiko melangkah
mendekati batang pohon itu. “Mampukah aku....?” pikirnya sambil lagi-lagi
memandang pada kedua telapak tangannya.
Dengan agak bimbang dia berjongkok di dekat batang pohon itu sambil
menggosok-gosok kedua telapak tanagnnya satu sama lain. Lalu dirasakannya ada
hawa dingin aneh datang dari perutnya, mengalir cepat sampai di ujung-ujung jarinya.
Perlahan-lahan Santiko letakkan kedua tangannya di atas batang pohon. Dia
menekan sedikit. Dadanya berdebar ketika melihat bagian batang yang ditakannya itu
jadi melesak!
“Kalau bagini berarti aku mampu melakukannya....” katanya dalam hati. Lalu
di gendut ini pergunakan kedua tangannya untuk merubah batang pohon itu menjadi
sebuah boneka besar berbentuk seorang lelaki yang berdiri dengan kedua kaki saling
menempel dan sepasang tangan diluruskan.
Boneka kayu ini kemudian dimasukkannya ke dalam lobang, kepala ke bawah
kaki ke atas. Persis seperti yang dilakau Dewa Ketawa terhadap dirinya tujuh tahun
yang lalu. Setelah puas memperhatikan boneka kayu itu sambil tertawa-tawa akhirnya
pemuda gendut ini tinggalkan puncak Mahameru.
Hanya beberapa saat saja setelah Santiko meninggalkan tampat itu tiba-tiba
terdengar suara tawa bergelak di sebelah timur puncak gunung. Menyusul suara orang
bernyanyi.
Tujuh tahun dipendam.
Tujuh tahun menjalani hukuman.
Hari ini hari pembebasan.
Hari ini akan kulihat lagi sang insan.
Entah nasih hidup entah sudah berpulang.
Suara nyanyian berakhir. Kembali terndenga suara tawa.
Tak lama kemudian muncullah seorang lelaki bertubuh gemuk besar bermata
sipit. Rambutnya yang putih digulung di atas kepala. Dai muncul menunggang seekor
keledai kecil kurus. Langkah binatang dan penunggangnya cepat sekali.
Dalam waktu singkat dia sampai di depan lobang inti es yang diapit oleh dua
buah tonggak batu hitam.
Mendadak si gendut yang bukan lain Dewa Ketawa ini hentikan tawanya.
Kedua matanya yang sipit menatap tak berkesip ke arah lobang inti es. Yang
dilihatnya bukan sosok tubuh manusia yang terpendam dalam lobang itu tetapi......tak
dapat dipastikannya.
Dewa Ketawa turun dari keledainya. Melangkah menghampiri benda yang
terpendam itu Memperhatikannya dari atas sampai ke bagian yang terpendam. Lalu
diulurkannya tangan kanannya meraba-raba. Paras Dewa Ketawa berubah.
“Kayu.....”desisnya. “Gusti Allah!” Si gendut mengucap. “Apakah hukuman
ini telah merubah tubuhnya menjadi kayu begini rupa?!” Untuk beberapa lamanya
Dewa Ketawa tertegun tak bergerak tak berkesip. Lalu, sekali kedua tangannya
bergerak, kayu yang menyerupai tubuh manusia itu ditariknya keluar dari lobang inti
es.
“Gila! Benar-benar kayu!” kata Dewa Ketawa lagi dengan suara bergetar.
Namun kemudian ada sesuatu yang membuat dia perlahan-lahan memalingkan kepala
BASTIAN TITO 15
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ke kiri. Pandangannya membentur pohon kayu yang tumbang. Lalu meledaklah tawa
manusia gemuk ini.
“Dia masih hidup! Dia coba menipuku dengan membuat boneka kayu ini!
Anak setan! Ha....ha.....ha.....ha!” Meski mengomel panjang pendek namun Dewa
Ketawa pada akhirnya kembali mengumandangkan gelak tawanya di puncak gunung
Mahameru itu. Puas mengumbar tawa akhirnya dia tinggalkan pula tempat itu.
BASTIAN TITO 16
EMPAT
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sebetulnya Angling Kamesworo tidak suka melewati hutan Randuabang. Selain
banyak dihuni binatang buas di situ juga sering mendekam komplotan rampok ganas
yang tidak segan-segan membunh mangsanya hanya untuk sekeping uang. Selain itu
bersama rombongannya yang terdiri dari selusin perajurit pengawal dia membawa
serta salah soerang puteri patih Kerajaan yang baru saja ikut berburu di kawasan timur
Pagarejo yang dikenal sebagai daerah banyaknya menjangan.
Namun wakil patih kerajaan ini tidak punya pilihan lain. Dia harus segera
berada di Kotaraja. Lewat hutan Randuabang dia bisa mempersingkat perjalanan.
Angling Kamesworo sebelumnya adalah salah seorang perwira muda di
jajaran balatentara pasukan Kerajaan.
Usianya yang belum mencapai tiga puluh, penampilan dan perawakannya
yang tinggi kukuh serta berotot ditambah otak cerdas dan pengetahuan luas dalam
bidang ketentaraan termasuk ilmu silat tinggi yang dimilikinya telah membuat patih
Kerajaan yang sudah lanjut usia itu pernah menyampaikan usulan pada Sultan. Jika
dia kelak mengundurkan diri maka Angling Kamesworolah yang diingininya sebgai
penggantinya. Sebgai manusia biasa tentu saja Angling Kamesworo mempunyai satudua
kekurangan. Salah satu kekurangan itu ialah sifatnya yang sombong dan tinggi
hati. Sifat buruk itu semakin menonjol sejak akhir-akhir ini. Mungkin sekali hal itu
timbul karena mengetahui kegagahan dan kehebatan ilmunya ditambah jabatannya
yang cukup tinggi dengan peluang akan menjadi patih kerajaan dalam waktu beberapa
tahun dimuka.
Pagi itu rombongan mulai menembus hutan Randuabang dan sebelum sore
berharap mereka sudah keluar dari situ. Kalau saja Sekar Mindi, puteri patih kerajaan
itu tidak mempergunakan kereta sebagai kendaraanya tetapi menunggang kuda biasa,
mungkin rombongan bisa bergerak lebih cepat.
Setelah ikut berburu selama tiga hari, sang dara merasa sangat letih dan lebih
suka naik kereta. Kalau Sekar Mindi adiknya sendiri pasti Angling Kamesworo telah
memaksanya agar menunggang kuda saja. Naumn terhadap puteri atasannya dia tentu
saja tidak bisa memaksa. Apalagi secara diam-diam sebenarnya pemuda ini telah
jatuh hati terhadap Sekar Mindi. Dan ada tanda bahwa gadis itupun suka padanya.
Tak lama memasuki hutan Randuabang rombongan sampai di dekat sebuah
telaga yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar dan tinggi rimbun serta bunga-bunga
hutan hingga tempat itu selain sejuk juga indah pemandangannya. Sekalipun keadaan
di situ sangat menarik biasanya tidak ada orang yang mau berhenti atau beristirahat.
Namun tidak demikian halnya dengan Sekar Mindi. Gadis yang baru sekali ini
melihat telaga itu begitu tertarik hingga dia berseru pada sais kereta agar berhenti.
Melihat kereta berhenti Angling Kamesworo segera mendekati. “Ada apa kau
menghentikan kereta?” tanya pemuda itu.
“Saya yang menyuruh,” yang menjawab Sekar Mindi lalu membuka pintu
kereta.
Angling Kamesworo cepat menahan pintu dan bertanya.
“Sekar....Kau hendak kemanakah?’
“Pemandangan di telaga dan sekitarnya sangat indah. Saya ingin turun dan
melihat-lihat barang sebentar.”
“Jangan lakukan hal itu Sekar. Kawasan hutan Randuabang ini sangat
berbahaya. Banyak binatang buas dan orang jahat.”
BASTIAN TITO 17
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Berada bersamamu apa saya perlu menakutkan semua itu , Angling?” tanya
sang dara sambil tersenyum yang membuat si pemuda jadi leleh hatinya dan tak bisa
melarang berbuat apa-apa ketika Sekar Mindi mendorong pintu kereta lebar-lebar lalu
turun. Dia berdiri di tepi telaga, menarik nafas dalam menghirup udara segar. “Indah
sekali pemandangan di sini. Udaranya segar.” Si gadis berpaling pada Angling
Kamesworo. “Kau tidak merasa lapar?’ tanyanya.
Walaupun memang sepagi itu dia belum makan apa-apa dan perutnya sudah
minta diisi namun Angling Kamesworo menggeleng.
“Saya justru lapar,” kata Sekar Mindi. “Di kantong perbekalan dalam kereta
masih banyak dendeng kering. Bagaimana kalau kita bakar dan makan sambil
menikmati keindahan telaga ini?”
“Saya kira…..”
Sekar Mindi memgang lengan Angling Kamesworo. “Saya rasa mungkin
hanya sekali ini seumur hidup saya berkesempatan berada di tempat ini. Apakah kau
tega menolak?”
Pemuda itu menghela nafas dalam. Dia memandang berkeliling lalu memberi
isyarat pada para pengawal dan kusir kereta. Dari dalam kereta segera diturunkan
kantong perbekalan. Beberapa orang pengawal mencari kayu api untuk memanggang
dendeng kering sedang Sekar Mindi duduk di atas sebuah batu besar di tepi telaga.
Sambil menikmati keindahan telaga dan alam sekitarnya gadis ini mempermainmainkan
kakinya dalam air telaga.
Bau harumnya dendeng yang dibakar menebar di seantero telaga bahkan jauh
ke dalam hutan Randuabang.
“Dendengnya sudah matang Sekar. Ingin saya bawakan beberapa potongan
besar?”
“Kalau kau tidak keberatan Angling,” jawab Sekar Mindi tanpa menoleh dan
terus mempermainkan kedua kakinya dalam air telaga. Angling Kamesworo memutar
tubuh melangkah ke tempat pemanggangan dendeng.
Tiba-tiba terdengar jeritan Sekar Mindi. Ada sesuatu seprti tangan manusia
menyentuh jari dan telapak kakinya. Bersamaan dengan itu satu benda besar
tersembul keluar dari dalam telaga. Air telaga muncrat kemana-mana.
Semua orang yang ada di tempat itu tentu saja jadi terkejut besar. Angling
Kamesworo melompat ke tempat Sekar Mindi duduk.
“Ada apa Sekar....?” tanya pemuda itu. Namun dia tak memerlukan jawaban.
Dari dalam telaga saat itu muncul keluar satu sosok tubuh manusia yang luar biasa
gemuknya dan berpakaian aneh.
“Dedemit telaga!” salah seorang perajurit berteriak. Dia dan kawan-kawannya
yang tadi ikut melompat ke tempat Sekar Mindi berada jadi mundur ketakutan.
Angling Kamesworo merangkul Sekar Mindi dan membawa gadis ini ke
tempat aman lalu dengan cepat membalikkan tubuh, melompat kembali ke tepi telaga.
Saat itu sosok yang tadi melesat keluar dari dalam telaga tegak berdiri di dekat batu
dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sosok manusia bertubuh gemuk luar biasa
namun sesaat Angling Kamesworo tambah meragu dan aujkan pertanyaan dengan
membentak.
“Siapa kau? Setan atau dedemit?”
Yang dibentak tampak terlonjak kaget tapi sesaat kemudian dia sunggingkan
senyum. Mukanya yang gembrot tampak kemerahan. Dia mengenakan baju yang
kesempitan dan anehnya kancingnya terletak di punggung bukan di sebelah depan.
Celananya juga tampak kekecilan. Di bagian pinggang tarbuka tak terkancing hingga
BASTIAN TITO 18
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
perutnya yang gembrot kelihatan membuntal keluar. Lalu di kepalanya dia
mengenakan sebuah peci hitam yang kupluk dan basah kuyup.
“Uh….panasnya hari ini!” kata si gendut pula acuh tak acuh seperti tidak
mendengar bentakan orang dan seolah tidak melihat Angling Kamesworo serta yang
lain-lainnya di tempat itu.
Ucapan si gendut itu tentu saja membuat semua orang yang ada di situ
terheran-heran. Jelas dia barus keluar dari dalam telaga yang airnya dingin dan saat
itu udara pagi masih terbungkus dinginnya sisa hawa malam hari. Adalah aneh kalau
si gendut yang basah kuyup ini berkata panasnya hari ini!
Sambil terus tersenyum dia memandang berkeliling. Dari dalam saku bajunya
dia mengeluarkan sebuah benda. Ketika dikembangkannya ternyata benda itu adalah
sebuah kipas kertas yang berada dalam keadaan basah tapi sama sekali tidak luruh
atau robek. Duduk enak-enakan di atas batu lalu dia berkipas-kipas sambil tiada
hentinya berkata “Huh…..panasnya hari ini. Gila panas betul! Aku sampai
keringatan!”
Merasa seperti tidak diacuhkan dan dianggap sepi Angling Kameseoro
menjadi marah.
“Makhluk edan! Siapapun kau adanya apa kau kura aku tidak berani dan tidak
tega menggasakmu sampai lumat?!”
“Angling…. Hati-hati. Jangan-jangan dia mahluk halus rimba belantara yang
menunjukkan diri….” Sekar Mindi berkata dari kejauhan.
Mendengar ucapan Sekar Mindi itu si gendut berhenti berkipas. Dia
memandang ke arah sang gadis sesaat lalu tertawa gelak-gelak. “Aku dibilang mahluk
halus. Apa buta dan tidak melihat tubuhku sekasar ini ?! ” Lalu si gendut itu kembali
tertawa-tawa dan berkipas-kipas.
Melihat sikap dan tutur kata si gendut tak dikenal itu marahlah Angling
Kameseoro. Dia bergerak lebih dekat. Tangan kanannya dihantamkan tepat-tepat ke
muka si gendut. Pukulan yang dilepaskannya bukanlah sembarang pukulan. Kalau
sempat mendarat di hidung pasti akan melesak hancur. Kalau menghantam bibir pasti
mulutnya akan pecah. Kalau sampai menghajar mata tak dapat tidak akan pecah buta !
Sesaat lagi jotosan keras itu akan mengenai sasarannya tiba-tiba dengan
geraka acuh tak acuh si gendut angkat kipasnya. Serangkum angin dingin menyambar
dan Angling Kamesworo merasa seperti melabrak tambok tak kelihatan. Tangannya
yang menjotos tertahan. Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap
saja tak bisa meneruskan pukulannya, padahal muka lawan yang jadi sasarannya
hanya setengah jengkal di depan tinjunya !
Sadarlah pemuda itu kalau dia berhadapan dengan orang berkepandaian tinggi.
Untung saja tak ada seorang lainpun di situ yang mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi. Meski sadar kalau yang dihadapinya bukan manusia sembarangan, namun
karena sifatnya yang congkak sombong, Angling Kamesworo tetap saja tidak mau
bersikap merendah. Dia kembali membentak.
“Setan atau dedemit, manusia atau jin ! Kalau kau punya sedikit ilmu jangan
berani jual lagak di hadapanku! Sebelum kujatuhkan tangan keras katakan siapa
dirimu! Mengapa berani mengganggu kami yang sedang beristirahat di tempat ini!
Malah kau berlaku kurang ajar! Memegang kaki puteri patih kerajaan, membuatnya
terkejut dan ketakutan!”
Mendengar ucapan panjang lebar itu si gendut tampak terkejut. Dia hentikan
berkipas-kipas. Lalu berdiri dan berpaling pada Sekar Mindi. Dia membungkuk
dalam-dalam dan berkata
BASTIAN TITO 19
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Cucuku yang cantik jelita harap maafkan kakekmu ini kalau aku sudah
membuatmu kaget dan ketakutan. Kakek tidak tahu kalau kau adalah puteri sinuhun
kanjeng patih kerajaan. Tapi terus teran kakek tidak ada niat jahat terhadapmu atau
mengganggu istirahat kalian. Terus terang saja tadi kakek sedang enak-enakan
bermain di dasat telaga. Kulihat ada benda putih-putih bergerak di permukaan telaga.
Kukira ikan, tak tahunya kakimu. Maafkan kalau kakek sudah bertindak kurang ajar
berani memegang kakimu yang bagus. Itu kakek lakukan karena kebodohanku dan
tidak tahu. Harap maafkan tua bangka tolol ini!”
Tentu saja ucapan si gendut berkopiah kupluk itu membuat semua orang jadi
kaget. Dia menyebut dirinya kakek dan memanggil Sekar Mindi sebagai cucu!
“Gendut keparat!” bentak Angling Kameseworo. “Jangan kau berani berlaku
kurang ajar dan main-main!”
“Ah..... ” si gendut menghela nafas panjang. “Kalau aku kurang ajar bukankah
sudah minta maaf. Kalau aku dituduh berani main-main, itu sama sekali tidak benar.
Masakan aku setua bangka ini mau bergurau yang bukan-bukan dengan cucuku,
puteri patih kerajaan pula ! ”
“Gendut sialan ! Kau menyebut dirimu kakek dan menyebut gadis itu
cucumu ! Umurmu pasti lebih muda dari gadis itu ! Apa itu namanya bukan
mempermainkan secara kurang ajar ?! ” bentak Angling Kamesworo dengan suara
bergetar karena sudah tak dapat menahan marah.
Si gendut tertawa gelak-gelak sampai wajahnya yang keringatan menjadi
merah. Dia lalu menjawab.
“Umur puteri patih kerajaan itu paling tinggi dua puluh dua tahu. Cucuku, kau
tahu berapa usiaku ?! ”
“Setan gemuk ! Kau jawablah sendiri ! ” teriak Angling Kamesworo.
“Baik ! Akan kujawab ! ” sahut si gendut pula. “Kalau kau mau tahu, usiaku
sudah delapan puluh ! Kau dengar ?! ”
Kedua mata Angling Kamesworo melotot. Yang lain-lain juga terkeisap kaget
mendengar ucapan si gendut itu. Jelas kalau dia tidak main-main maka dia adalah
seorang gila yang kesasar. Melihat kepada wajahnya paling tidak usianya hanya dua
puluh tahun, mungkin kurang. Bagaimana dia enak saja berkata bahwa dia berusia
delapan puluh tahun ?!
Angling Kamesworo kalau menurutkan hawa amarahnya mau dia segera
menghantam si gendut berpeci kupluk itu habis-habisan. Namun sebagai orang
berkepandaian dia masih bisa berpikir. Tadi waktu dia melancarkan jotosan si gendut
ini mengangkat kipasnya secara acuh tak acuh. Tapi dari benda itu membersit hawa
dingin yang dapat menahan gerakannya. Lalu tadi dia berkata sedang main-main di
dalam telaga. Saat dia dan rombongan berhenti di telaga sampai saat si gendut muncul
di permukaan telaga cukup lama. Manusia mana yang mampu mendekam dalam air
selama itu?
“Gendut mengaku kakek berusia delapan puluh tahun. Sebenarnya siapa
sirimu. Siapa namamu?” tanya Angling Kamesworo.
“Ah, cucuku, ternyata kau bisa berbasa basi, bisa bicara baik-baik dan sopan.
Baik aku jawab pertanyaanmu,” kata si gendut pula. “Namaku nama kampung.
Santiko. Ada juga yang menyebutku dengan gelaran muluk. Bujang Gila Tapak
Sakti.”
“Dari mana kau berasal dan apa kerjamu di dalam telaga itu?!” tanya Angling
Kamesworo.
BASTIAN TITO 20
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Asalku dari kampung sekitar sini. Aku berada di dalam telaga karena
kepanasan. Coba mencari kesejukan. Tidakkah kau dan yang lain-lain merasa betapa
panasnya hari ini?” Lalu si gendut mengipas-ngipaskan kipas kertasnya.
Sesaat Angling Kamesworo memperhatikan kedua tangan si gendut. Jelas
terlihat kedua telapak tangannya berwarna putih pucat. Diam-diam pemuda ini jadi
merasa tidak enak.
“Gendut, dengar ucapanku. Aku tidak senang kau berada di sini. Lekas angkat
kaki dan pergi…..”
“Ah, nasibku malang. Dihina dan diusir orang. Tapi baiklah aku akan pergi.
Apa susahnya angkat pantat dari batu dan angkat kaki pergi? Tapi tunggu….” Si
gendut yang bernama Santiko dan bergelar Bujang Gila Tapak Sakti itu
mendongakkan kepalanya. Hidungnya kembang kempis menghirup-hirup. “Aku
mencium harumnya bau daging panggang. Tapi sudah hampir hangus. Mengapa tidak
cepat-cepat disantap?!”
Astaga!
Semua orang baru sadar kalau dendeng yang mereka panggang hampir hangus.
Semua segera menghampiri tempat pemanggangan kecuali Angling Kamesworo.
Sekar Mindi membagi-begikan potongan dendeng panggang pada orang-orang yang
ada di tempat itu. Ketika dia menghampiri Angling, pemuda ini memberi isyarat agar
si gadis tidak melangkah lebih dekat. Angling berpaling pada Bujang Gila Tapak
Sakti.
“Kau sudah mendengar kata-kataku tadi. Kenapa tidak lekas angkat kaki dari
sini?’
“Begitu? Baik aku segera pergi.” Menjawab si gendut. Dia berpaling pada
Sekar Mindi. “Cucuku, sudah tujuh puluh tahun aku tak pernah menikmati daging.
Apalagi dendeng panggang seperti itu. Apakah aku boleh minta barang sepotong
kecil?”
Sekar Mindi tampak ragu-ragu. Namun sesaat kemudian gadis ini melangkah
juga ke arah Bujang Gila Tapak Sakti sambil membawa potongan dendeng bakar
yang tadi hendak diberikannya pada Angling Kamesworo.
Setengah jalan Angling mencegatnya. Dendeng panggang yang ada di tangan
si gadis dirampasnya lalu dibantingkannya ke tanah. Tak cukup sampai di situ.
Daging yang jatuh di tanah itu lalu diinjak-injaknya dengan kakinya yang memakai
kasut dari kulit hingga hancur dan kotor.
“Kau lapar gendut?! Makanlah!” katanya lalu Angling Kamesworo tertawa
gelak-gelak. Dua belas perajurit lainnya ikut-ikutan tertawa. Hanya kusir kereta yang
sudah lanjut usia dan Sekar Mindi yang tidak tertawa, senyumpun tidak.
Si gendut tenang-tenang saja malah menyeringai. Dia membungkuk
mengambil dendeng panggang yang sudah hancur dan kotor bergelimang tanah itu
dengan tangan kanannya. Lalu sambil membejak-bejak daging itu dalam genggaman
telapak tangannya dia berkata “Sayang, dagingnya seenak ini dibuang begitu saja,
diinjak, dikotori dengan tanah. Padahal banyak orang miskin yang kelaparan sekitar
sini. Termasuk aku.....”
Tangan yang membejak-bejak dendeng panggang itu perlahan-lahan dibuka.
Semua orang terkejut ketika menyaksikan bagaimana dendeng bakar yang tadi sudah
hancur dan kotor diinjak-injak kini berubah menjadi sepotong besar daging panggang
segar yang mengepulkan asap dan menebar bau harum bukan main.
“Cucuku,” kata si Bujang Gila Tapak Sakti sambil memandang pada Sekar
Mindi. “Terima kasih atas pemberianmu ini. Kakek tidak akan melupakan kebaikan
hatimu....” Habis berkata begitu si gendut berkopiah kupluk itu melahap daging
BASTIAN TITO 21
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
panggang itu sambil tangan kiri mengipas-ngipaskan kipas kertasnya. Di satu tempat
dia berpaling lagi pada Sekar Mindi dan menjura dalam-dalam. Lalu hup! Sekali dia
menggenjot kedua kakinya tubuhnya yang seprti buntalan raksasa itu melayang ke
atas. Sesaat kemudian kelihatanlah si gendut itu duduk berjuntai goyang-goyang kaki
di atas cabang sebuah pohon. Cabang ini tak seberapa besarnya. Dibandingkan
dengan tubuh si gendut yang berat seharusnya cabang itu akan menekuk ke bawah
behkan bisa patah. Tapi nyatanya cabang pohon tersebut hanya melentur bergoyanggoyang
mengikuti gerakan atau uncangan kaki si gendut!
Selusin perajurit dan Sekar Mindi terkagum-kagum melihat apa yang terjadi.
Sebaliknya Angling Kamesworo tampak merah mukanya. Apa yang dilakukan
Bujang Gila Tapak Sakti seolah-olah mempermainkan dan mengejek dirinya. Dia
hendak meneriakkan sesuatu tetapi tak jadi karena dengan tiba-tiba kusir tua
menghampirinya dan berkata. “Raden, kalau saya tidak salah manusia gendut
bernama Santiko bergelar Bujang Gila Tapak Sakti ini tujuh tahun dulu adalah bocah
yang mencuri dua buah bonang perangkat gamelan keraton.”
Tentu saja keterangan itu membuat Angling Kamesworo jadi terkejut. Tujuh
tahun lalu dia belum masuk ke dalam jajaran pasukan Kerajaan. Namun beberapa
waktu sesudah bergabung dengan alat kerajaan dia pernah mendengar tentang
dicurinya dua buah bonang itu.
“Kenapa tidak kau katakan dari tadi?!” ujar Angling Kamesworo pula dengan
suara keras yang ditekan.
“Maafkan saya. Ingatan saya berjalan lamban....”
“Kalau begitu dia harus segera kita tangkap!” kata Angling Kamesworo pula
seraya memandang ke arah cabang pohon dimana si gendut duduk masih enak-enakan
menyantap daging panggang sambil uncang-uncang kaki dan berkipas-kipas.
“Bujang Gila Tapak Sakti! Lekas turun dari pohon! Aku mau bicara
denganmu!” berteriak Angling Kamesworo.
Baru saja dia berteriak begiut dan belum sempat si gendut memberikan
jawaban tiba-tiba ada derap kaki kuda sekitar telaga. Tahu-tahu lima penunggang
kuda bertampang sangar beringas dan garang muncul di tempat itu. Kelimanya
menebar demikian rupa dalam sikap mengurung rombongan. Masing-masing duduk
di atas kuda sambil menekankan tangan ke gagang golok besar yang tersisip di
pinggang.
BASTIAN TITO 22
LIMA
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Angling Kamesworo segera maklum siapa adanya kelima orang itu. Tak dapat
tidak pastilah gerombolan perampok jahat hutan Randuabang.
“Salan!” maki Angling Kamesworo dalam hati. “Urusan dengan si gendut gila
itu belum selesai. Kini datang lagi penyakit baru!”
“Kalian siapa dan mau apa?!” tiba-tiba Angling Kamesworo bertanya dengan
suara keras hingga lima penunggang kuda tersentak. Lalu berbarengan kelimanya
tertawa gelak-gelak.
“Anak muda. Caramu bertanya galak amat!” salah seorang dari lima
penunggang kuda membuka mulut. Barisan gigi-giginya kelihatan besar-besar dan
berwarna hitam.
“Jika kau dan kawan-kawanmu datang membawa maksud jahat, jangan berani
lakukan disini. Kepala kalian akan kubuat menggelinding di tanah!”
Lima penunggang kuda kembali tertawa bergelak. Yang tadi bicara membuka
mulut.
“Aku Warok Wesi Randuabang, penguasa rimba belantara ini.Empat orang ini
adalah sahabat-sahabat dan anak buahku. Bertemu baru satu kali, bagaimana kau bisa
menuduh kami datang membawa maksud jahat, anak muda?!”
“Sudah! Aku tak ada waktu panjang lebar dengan kalian! Harap tinggalkan
tempat ini. Kamipun segera akan berlalu dari sini!” Habis berkata begitu wakil patih
kerajaan ini memberi isyarat pada semua anggota rombongan. Lalu dia melangkah
mendekati Sekar Mindi dan dengan cepat membimbing gadis itu masuk ke dalam
kereta.
“Tunggu dulu!” seru Warok Wesi Randuabang.
Angling Kamesworo menutupkan pintu kereta. Pada Sekar Mindi dia berkata.
“Apapun yang terjadi jangan keluar dari dalam kereta!” lalu dia berpaling pada lima
penunggang kuda.
“Kami datang karena mencium bau dendeng panggang yang harum itu.
Karena lapar dan ada rejeki jelas kami mau minta bagian! Apakah kalian mau
memberi atau terlalu pelit tak mau berbagi-bagi?”
“Wesi Randuabang,” penunggang kuda di samping sang warok berkata “Yang
kita temui di tempat ini ternyata bukan cuma dendeng panggang yang lezat tapi ada
seorang gadis cantik. Hanya sayang si jelita itu buru-buru disembunyikan ke dalam
kereta!”
Lima orang berwajah garang itu kembali tertawa bergelak.
Angling Kamesworo yang merasa semakin tidak enak cepat berkata.
“KAu dan kawan-kawanmu mau dendeng panggang silahkan saja ambil. Tapi
ingat, jangan ganggu rombongan ini!”
“Anak muda, hatimu ternyata sangat baik. Bersedia memberikan dendeng
panggang yang enak itu. Tapi kenapa buru-buru mau pergi?” Warok Wesi
Randuabang.
Angling Kamesworo tidak menjawab. Dia melompat ke atas kudanya dan
memberi isyarat pada kusir kereta serta dua belas perajurit untuk segera bergerak
meninggalkana tempat itu.
Warok Wesi Randuabang cepat menggerakkan kudanya. Empat kawannya
mengikuti. Kelimanya kini berada di depan rombongan dan jelas-jelas menghadang.
BASTIAN TITO 23
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Anak muda, kalau aku bilang jangan buru-buru pergi kau harus patuh!”
membentak Warok Wesi Randuabang. “Apa kau tidak tahu berhadapan dengan
siapa?!”
“Kau yang buta tidak tahu berhadapan dengan siapa!” balas membentak
Angling Kamesworo.
“Aku tidak buta anak muda! Kau mengenakan pakaian perwira dan ada dua
belas orang berseragam perajurit. Jelas kalian adalah sekelompok pasukan kerajaan.”
Warok Wesi Randuabang berpaling pada teman-temannya. Lalu bertanya “KAwankawan,
apakah ada bedanya bagi kita kalau mereka adalah cecunguk-cecunguk
kerajaan atau bukan?”
“Tentu saja tidak!” menyahuti salah seorang anak buah Warok Wesi
Randuabang.
“Sekalipun mereka srombongan setan atau jin pelayangan tentu saja tak ada
artinya bagi kita!” menyahuti anak buah yang lain.
Warok Wesi Randuabang menyeringai. “Anak muda, kau dengar apa yang
dikatakan teman-temanku.”
“Kalian membuatku jijik dan lama-lama aku bisa jengkel! Lekas menyingkir.
Jangan menghalangi jalan!” bentak Angling Kamesworo.
“Lagakmu memuakkan!” tukas Warok Wesi Randuabang, Kepala rampok
hutan Randuabang ini menarik tali kekang mudanya, hendak bergerak ke arah
Angling Kamesworo. Tapi salah seorang anak buahnya cepat mendahului seraya
berkata.
“Gembel kerajaan ini biarkan aku yang membereskan!”
Anak buah Warok Wesi Randuabang yang satu ini segera menggebrak
kudanya. Bersamaan dengan itu dia mencabut goloknya. Senjata ini membabat begitu
dia sampai di hadapan Angling Kamesworo.
Perwira muda kerajaan ini cepat merunduk. Kelihatannya dia seperti hendak
menysupkan satu jotosan ke dada lawan.
Melihat gelagat ini anak buah Warok Wesi putar pergelangan tangannya.
Senjatanya kini menderu ke bawah. Siap untuk membabat putus tangan Angling
Kamesworo. Semua orang di pihak rombongan kerajaan yang menyaksikan itu
menjadi terpaku tegang. Sekar Mindi pejamkan mata dan tekap mulutnya kuat-kuat
agar tidak mengeluarkan suara jeritan. Kalau pemuda pelindungnya itu sampai celaka
dan tewas di tangan kawanan rampok hutan berarti dirinya sendiri tak bisa
diselamatkan dan akan jatuh ke tangan gerombolan rampok Warok Wesi Randuabang.
Tubuh gadis ini jadi menggigil dan wajahnya pucat tak berdarah menghadapi
kenyataan ini.
Tetapi apa yang terjadi kemudian justru mengejutkan Warok Wesi dan kawankawannya.
Di kala mereka sudah memperkirakan lengan perwira muda itu akan
dibabat putus tiba-tiba tubuh Angling Kamesworo merunduk hampir sama datar
dengan punggung kuda. Bersamaan dengan itu kaki kirinya melesat ke depan.
Bukkk!
Ujung kaki Angling Kamesworo menghantam lambung anak buah Warok
Wesi hingga mengeluarkan suara bergedebukan sedang dari mulutnya meledak suara
jeritan keras. Tubuhnya terpental dari punggung kuda lalu jatuh punggung terkapar di
tanah, goloknya terlepas mencelat ke udara yang dengan cepat segera disambar oleh
sang perwira muda.
Selagi Warok Wesi dan tiga orang anak buahnya terkesiap melihat kejadian itu
dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak. Jika kita layangkan pandang ke arah
pohon itu ternyata di cabang pohon kini bukan hanya Santiko alias Bujang Gila Tapak
BASTIAN TITO 24
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Sakti saja yang kelihatan duduk di sana melainkan di sebelahnya kini tampak ikut
duduk seorang pemuda berambut gondrong mengenakan pakaian putih-putih.
“Dut, bagi lagi aku daging panggangnya,” kata si gondrong.
“Ah, dagingku tinggal sedikit. Tapi baiklah. Kuberikan secuil lagi!” Lalu
Bujang Gila Tapak Sakti memberika sepotong kecil lagi daging panggangnya pada
pemuda di sampingnya. Keduanya mengunyah daging itu sambil tertawa-tawa.
“Aku sudha lama mencarimu, syukur-syukur sekarang bisa ketemu!” kata si
gondrong.
“Aku merasa tidak perlu mencarimu. Karena aku yakin kau pasti mencariku!
Buktinya sekarang kita ketemu! Ha...ha...ha....!” Bujang Gila Tapak Sakti mengipasngipaskan
kipas kertasnya ke wajahnya yang keringatan. Saat itulah tendangan
Angling Kamesworo mendarat di lambung anak buah Warok Wesi hingga rampok
satu ini jatuh ke tanah. Tak berkutik lagi karena tulang punggungnya patah. Bujang
Gila Tapak Sakti dan si gondrong tertawa gelak-gelak melihat kejadian itu. Warok
Wesi Randuabang melirik ke arah cabang pohon. Dia tidak mengenali siapa adanya si
gendut berkopiah kupluk dan berbaju yang kancingnya terbalik itu. Namun dia segera
mengenali pemuda satunya yang berambut gondrong.
“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng.....” membatin Warok
Wesi. Hatinya mendadak santak jadi tidak enak. Dia memberi isyarat pada tiga orang
anak buahnya. “Kalian lekas keroyok perwira muda itu. Aku akan melakukan
sesuatu.” Habis berkata begitu Warok Wesi menggebrak kudanya ke kanan seolaholah
dia hendak meninggalkan tempat itu. Namun di satu tempat dia membelok lagi
dan memacu kudanya ke arah kereta.
“Lindungi kereta!” teriak Angling Kamesworo.
Sua belas perajurit segera bergerak mengamankan kereta dimana puteri patih
kerajaan berada.
Angling Kamesworo sendiri segera menyambut serangan tiga orang anak buah
Warok Wesi. Ketiganya menyerang dengan golok di tangan.
“Kalian mencari mampus!” hardik perwira muda itu.
Golok di tangannya berputar aneh. Tiga orang anak buah Warok Wesi
merupakan penjahat-penjahat yang memiliki kepandaian memainkan golok tingkat
tinggi. Selama bertahun-tahun malang melintang dalam rimba Randuababng dan
sekitarnya Warok Wesi menyempatkan diri untuk mengajarkan ilmu golok itu pada
empat orang anak buahnya. Walau masih belum sempurna betul namun kehebatan
mereka memainkan senjata tajam itu tidak bisa dianggap rendah. Namun sekali ini
ketiganya kena batunya. Yang mereka hadapi adalah seorang perwira muda
berkepandaian tinggi calon patih kerajaan!
Tiga anak buah Warok Wesi sesaat jadi terkesiap ketika melihat golok yang
ada di tangan perwira muda itu seolah berubah menjadi sepuluh buah, menyambar
dengan mengeluarkan suara berdesing menggidikkan.
Trang....trang....trang!
Tiga kali bunga api berpijar di udara pagi. Tiga seruan tertahan keluar dari
mulut tiga orang anak buah Warok Wesi. Telapak tangan yang memegang golok
terasa pedas. Senjata di tangan masing-masing hampir saja terlepas mental dalam satu
bentrokan golok secara kilat tadi.
Sadar kalau lawan mereka memiliki kepandaian tinggi, salah seorang dari
pengeroyok berseru.
“Keluarkan jurus bintang bertabur!”
Ilmu silat mengandalkan golok yang disebut jurus bintang bertabur itu
sebenarnya harus dimainkan oleh lima orang. Namun karena merasakan adanya
BASTIAN TITO 25
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ancaman maka tiga orang perampok hutan Randuabang itu lekas-lekas saja
mengeluarkannya dengan maksud dapat menghabisi lawannya.
Begitu jurus bintang bertabur itu dimainkan walau Cuma oleh tiga orang saja,
Angling Kamesworo merasakan dirinya menghadapi serangan laksana curahan hujan
yang bertabur dari arah berbeda-beda. Baru saja dia mementahkan atau menangkis
satu serangan lawan, dari jurusan lain datang pula serangan baru. Dihadapinya
serangan satu ini, gempuran datang menderu dari jurusan lain. Hanya dengan
kehebatan dan kecepatannya bergerak perwira muda itu sanggup lolos dari seranganserangan
maut walau dua kali pakaiannya robek besar disambar ujung senjata lawanlawannya.
Angling Kamesworo kertakkan rahang. Dia keluarkan suara membentak
nyaring lalu menghadapi keroyokan tiga lawannya dengan gebrakan-gebrakan aneh
yang secara perlahan-lahan membuat dia sanggup bertahan lalu balas mendesak lawan
dengan tusukan atau babatan maut!
Di bagian lain, ketika melihat dua belas perajurit melindungi kereta, Warok
Wesi Randuabang segera hunus golok besarnya. Tanpa tedeng aling-aling dia
menggebrak ke arah kereta. Para perajurit yang mengawal tentu saja tidak mau tinggal
diam. Enam orang langsung menyongsong sedang enam lainnya tetap bersiaga
menjaga keselamatan kereta.
Enam perajurit yan gmnyambut kedatangan Warok Wesi Randuabang itu dua
memegang golok, tiga menggenggam pedang dan satu lagi bersenjatakan tombak.
Enam senjata berserabutan ke arah kepala, dada dan perut Warok Wesi. Sang Warok
ganda tertawa. Golok besar di tangannya berkiblat lenyap. Terdengar suara
berdentrangan. Lalu dua jeritan merobek langit. Dua sosok tubuh roboh ke tanah
bermandikan darah. Mereka adalah perajurit yang memegang golok dan pedang.
Empat temannya karuan menjadi gugup. Tapi sadar akan kewajiban dan tanggung
jawab besar mereka atas keselamatan puteri patih kerajaan maka keempat perajurit ini
kembali menyerbu Warok Wesi. Namun keberanian meraka hanya satu kesia-siaan
belaka. Sekali lagi golok di tangan kepala rampok hutan Randuabang itu berkiblat,
dua perajurit lagi roboh ke tanah meregang nyawa. Dua kawannya yang hampir putus
nyali segera memberi isyarat pada enam temannya yang berada di sekitar kereta. Tiga
orang segera bergerak, tiga lagi tetap berjaga-jaga. Kini ada lima perajurit
menghadapi Warok Wesi.
“Kalau kalian sayang jiwa lekas minggat dari sini. Kalau tidak kalian akan
merasakan akibatnya!”
Lima perajurit itu rupanya tidak takut akan gertakan Warok Wesi. Dengan
cepat mereka menggebrak memulai serangan. Kali ini mereka menjaga jarak dan
bertindak hati-hati. Tiga jurus pertama mereka bisa bertahan bahkan sesekali
melancarkan serangan yang cukup membuat kepala rampok itu sibuk. Namun jurusjurus
berikutnya satu persatu mereka menemui ajal dibabat atau ditusuk golok besar
di tanagn Warok Wesi.
Dati tiga orang sisa perajurit yang mengawal kereta hanya satu saja yang
mencoba berjibaku menusukkan goloknya ke punggung Warok Wesi yang saat itu
lengah ketika sibuk membunuhi kawan-kawannya yang lima. Dua lainnya sudah
kabur ketakutan. Perajurit yang satu ini berhasil menusukkan senjatanya ke punggung
kepala perampok itu. Namun alangkah kagetnya ketika menyaksikan bagaimana dia
seolah menusuk batu yang keras. Ternyata sang warok tidak mempan senjata tajam!
Tidak percuma dia menyebut diri sebagai Warok Wesi.
BASTIAN TITO 26
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Pembokong sialan!” rutuk Warok Wesi. Dia memutar tubuh. Tangan kirinya
bergerak mencekik leher si perajurit. Lalu seperti seorang membelah kelapa, golok di
tangannya menetak batok kepala perajurit itu!
“Keparat!” maki Warok Wesi ketika muncratan darah membasahi muka dan
pakaiannya. Dengan lengan bajunya dia menyeka noda darah lalu melompat turun
dari atas kuda dan lari ke arah kereta.
Di atas pohon si gendut berpeci hitam kupluk menepuk bahu si gondrong.
“Sobatku gondrong! Aku mau tanya, sebetulnya kenapa kau mencariku?!”
“Soal kecil saja,” jawab Pendekar 212 Wiro Sableng. “Aku dimintakan
bantuan oleh si Kerbau Bunting itu…..”
“Kerbau Bunting katamu?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti. Dia berpikir
sejenak. Lalu dia berkata.
“Ah! Pasti si Dewa Ketawa itu! Paman sialan! Dia yang memendam aku
sampai karatan di lobang inti es di puncak gunung Mahameru! Bantuan apa yang
dimintanya? Sudah! Kau tak usah menjawab! Aku sudah tahu!”
“Tahu apa?” tanya Wiro menguji.
“Orang tua itu pasti minta bantuanmu untuk mendapatkan dua buah bonang
kelengkapan gamelan keraton! Betulkan…….?!”
Wiro mengangguk lalu cepat berkata “Sudah dulu. Urusan dua buah bonang
itu kita tunda dulu. Ada hal yang lebih penting!”
“Apa maksudmu?”
Pendekar 212 menunjuk ke arah kereta.
“Kau lihat sendiri. Orang jahat itu berhasil merobohkan dua belas pengawal.
Kini dia tengah menuju kereta hendak menculik puteri patih kerajaan bernama Sekar
Mindi. Apakah kau tidak akan menolongnya?!”
“Perduli amat dengan gadis itu. Orang-orangnya tadi menghinaku habishabisan....”
“Tapi gadis itu tidak jahat padamu.”
Si gendut tertawa sambil berkipas-kipas. “Kau suka padanya. Pasti!”
Wiro menyeringai. Dia memandang ke bawah pohon. Ke arah kereta. “Lihat,
Warok Wesi tengah menarik tubuh Sekar Mindi dengna paksa dari dalam kereta…..
Kau masih tak mau menolong gadis itu?”
“Kalau kau suka padanya, kau saja yang menolongnya!” jawab Bujang Gila
Tapak Sakti.
“Kau gendut sialan!” maki Wiro sambil menggaruk kepala. Sekali dia
berkelebat tubuhnya melayang ke arah kereta dan menjejak tanah tepat di belakang
Warok Wesi yang tengah berusaha menarik Sekar Mindi keluar dari dalam kereta.
Gadis ini berusaha bertahan sambil berpegangan pada pinggiran pintu. Namun apalah
artinya kekuatan seorang perempuan dibanding dengan kekuatan Warok Wesi seorang
lelaki bertubuh kokoh besar yang sudah dirasuk setan. Sekali lagi dia merengut maka
Sekar Mindi akhirnya keluar dari kereta. Dengan cepat hendak menotok gadis ini lalu
mendukungnya di bahu kiri. Namun tiba-tiba dia merasakan ada seseorang menepuk
bahunya sambil memanggil.
“Warok….”
Warok Wesi menoleh. Begitu kepalanya menghadap ke belakang satu jotosan
melanda hidungnya. Pegangannya pada pinggang Sekar Mindi terlepas. Kepalanya
seperti dihantam palu godam. Sakitnya bukan main hingga dia menjerit keras. Tetapi
hebatnya jangankan berdarah atau cidera, hidung itu tidak berubah sedikitpun kecuali
hanya berwarna kemerah-merahan.
BASTIAN TITO 27
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kurang ajar! Setan alas ini ternyata kebal senjata tajam kebal pukulan!” kata
Wiro dalam hati. “Tak ada jalan lain,aku harus melumpuhkannya dengna totokan!”
lalu Wiro hendak menotok. Rupanya Warok Wesi tahu apa yang hendak dikerjakan
lawan. Didahului dengan bentakan garang kepala rampok ini menerkam ke depan.
Kedua tangannya seperti hendak mencengkeram leher Pendekar 212. Tapi tahu-tahu
salah satu tangannya menggebuk ke arah perut.
Bukkk!
Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede itu mengeluh tinggi.
Tubuhnya terangkat sampai setengah tombak sebelum mencelat beberapa langkah.
Dari atas pohon terdengar suara tertawa bergelak. Yang tertawa bukan lain
adalah Bujang Gila Tapak Sakti.
“Sobatku Wiro. Bagaimana rasanya digelitik si Warok?!” mengejek si gendut.
“Kentut busuk!” maki Pendekar 212 seraya bangkit berdiri. Baru saja tegak,
Warok Wesi sudah berada di hadapannya melancarkan satu tendangan deras. Untung
Wiro masih sempat jatuhkan diri dan berguling menjauh. Namun lagilagi begitu dia
berdiri kembali kepala penjahat itu sudah berada di dekatnya dan siap melancarkan
serangan ganas. Kali ini Pendekar 212 tidak mau memberi hati lagi. Dia menahan
serangan lawan dengan jurus-jurus ilmu silat orang gila yang didapatnya dari Tua
Gila dari pulau Andalas. Begitu lawan kebingungan dan putus asa karena semua
serangannya luput maka Wiro lalu menggempur dengan jurus-jurus kilat : membuka
jendela memanah matahari, di balik gunung memukul halilintar, kincir padi berputar
dan kepala naga menyusup awan. Empat pukulan melanda muka, dada dan perut
Warok Wesi. Mukanya babak belur. Tubuhnya yang tinggi besar terbanting ke tanah.
Untuk beberapa lama Warok Wesi terkapa tak bergerak.
“Tamat riwayatmu!” kata Wiro puas. Tapi kedua matanya jadi mendelik
sewaktu perlahan-lahan tubh yang terkapar itu bergerak. Lalu tiba-tiba Warok Wesi
membuat satu lompatan dan tahu-tahu dia sudah berdiri di hadapan murid Sinto
Gendeng itu.
“Iblis satu ini benar-benar kebal!” desis Pendekar 212. Dia mengerahkan
tenaga dalam siap untuk menghantam dengan pukulan sakti sinar matahari. Justru
pada saat itulah terdenga suara tawa bergelak dari atas pohon.
“Sobatku Pendekar 212! Coba kau bawa setan alas itu ke bawah pohon ini.
Aku akan tunjukkan padamu bagaimana memusnahkan kekebalan dirinya!”
Wiro mendongak ke atas pohon di mana si gendut Bujang Gila Tapak Sakti
duduk berjuntai uncang-uncang kaki sambil berkipas-kipas.
Melihat ke atas pohon, melupakan kedudukan lawan merupakan satu
kesalahan besar yang dibuat Wiro Sableng. Di saat dai bertindak lengah itu Warok
Wesi melompat sambil melayangkan jotosannya ke muka Wiro.
Pendekar212 merasakan kepalanya seolah meledak dan tanggal dari lehernya.
Tubuhnya mencelat jauh dan terbanting tepat di batang pohon di mana Bujang Gila
Tapak Sakti duduk berjuntai. Untuk beberapa lamanya pemandangannya gelap
berkunang-kunang. Dia hanya melihat samar-samar Warok Wesi melangkah
mendekatinya. Tangan kanannya memegang sebilah golok berdarah.
Di hadapan Wiro, Warok Wesi tegak sesaat. Mukanya seganas iblis. Seringai
setan bermain di mulutnya.
“Aku tidak pernah memimpikan hari ini akan membunuh tokoh paling
terkenal dalam dunia persilatan. Pendekar 212 hari ini tamat riwayatmu!”
Tangan Warok Wesi yang memegang golok mengayun ke bawah. Tapi baru
setengah jalan bacokan maut itu berjalan tiba-tiba dari atas pohon mencurah jatuh
cairan kuning. Cairan ini jatuh tepat menimpa kepala dan tubuh Warok Wesi
BASTIAN TITO 28
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Randuabang, malah bermuncratan mengenai Pendekar 212 yang duduk tersandar di
batang pohon.
Dari mulut Warok Wesi keluar suara raungan dahsyat. Orang ini melangkah
mundur dengan muka pucat lalu mencak-mencak seperti orang gila. Kedua tangannya
berulang kali memegangi kepala dan bagian tubuhnya yang kecurahan cairan kuning
dari atas pohon. Lain halnya dengan Pendekar 212 Wiro Sableng. Begitu muncratan
air kuning dan hangat itu menerpa tubuhnya, dia segera tahu apa yang terjadi.
“Bujang Gila keparat! Apa yang kau lakukan? Kuputus burungmu!” Wiro
berteriak lalu berdiri.
Si gendut di cabang pohon tertawa gelak-gelak. “Kau harus berterima kasih
telah kukencingi!” berseru Bujang Gila Tapak Sakti.
“Setan alas! Enak saja kau bicara begitu! Lihat mukaku basah kejatuhan
cipratan air kencingmu di kepala Warok sialan itu!”
“Anak tolol! Justru itu aku bilang kau harus berterima aksih. Kau Cuma
kecipratan. Lihat si Warok. Dia malah basah kuyup. Air kencingku membuat ilmu
kebalnya musnah tak manjur lagi ! ”
“Pembohong besar ! Konyol ! ” teriak Wiro masih sangat jengkel. “Turunlah
biar kugebuk tubuhmu sampai jadi pepes ! ”
Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh. “Kalau kau tak percaya mengapa
tidak dicoba ? Coba kau hajar Warok itu sekali lagi ! ”
Pendekar 212 garuk-garuk kepala. Diperhatikannya keadaan Warok Wesi
yang mencak-mencak, meraung sambil coba mengeringkan kepala dan tubuhnya yang
basah dengan kedua tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk mengeringkan
air kencing Bujang Gila Tapak Sakti itu. Dengan wajah sangat ketakutan dia lari ke
kudanya, berusaha melarikan diri dari tempat itu. Apalagi tiga orang anak buahnya
yang terakhir sudah menemui ajal pula di tangan Angling Kamesworo.
“Mungkin apa yang diucapkan si gendut sialan itu benar. Kalau tidak mengapa
Warok Wesi sampai berusaha melarikan diri dengan sangat ketakutan seperti itu. ”
Memikir sampai disitu Pendekar 212 segera melompat mengejar Warok Wesi yang
saat itu baru saja menggebrak kudanya hendak melarikan diri. Murid Sinto Gendeng
ini masih sempat mencekal pergelangan kaki kiri Warok Wesi lalu ditariknya
kencang-kencang, Tubuh Warok Wesi terbetot dari kuda tunggangannya. Binatang ini
terus saja berlari. Akibatnya sang Warok jatuh terbanting ke tanah. Sebelum dia
sempat bangkit tendangann kaki kanan Wiro bersarang di sisi kanannya.
Kraaakk !
Warok Wesi meraung keras. Empat tulang iganya berpatahan ! Dia berusaha
bangkit. Namun baru setengah duduk sebilah golok berkelebat membacok lehernya.
Sekali lagi terdengar suara raungan keluar dari tenggorokan Warok Wesi. Lalu
tubuhnya roboh kembali. Sekali ini tak bergerak lagi. Mati dengna leher hampir putus.
Perlahan-lahan Angling Kameswowo menjatuhkan golok yang dipegangnya
yang barusan dipakainya untuk membunuh kepala rampok hutan Randuabang yaitu
Warok Wesi Randuabang. Lalu dia menoleh ke atas pohon.
“Anak muda bernama Bujang Gila Tapak Sakti, turunlah. Kau telah berbuat
jasa pada kerajaan. Menyelamatkan puteri patih. ”
“Ah siapa bilang aku menolong. Tadi aku kan Cuma kencing saja ! ”
Pendekar 212 tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Gendut!” seru Wiro. “Kau turun sajalah! Orang mau bicara padamu ! ”
Mendengar ucapan murid Sinto Gendeng itu Bujang Gila Tapak Sakti
melompat turun dari atas pohon. Tapi dia tidak melompat turun ke tempat di mana
BASTIAN TITO 29
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro dan Angling Kamesworo berada melainkan ke jurusan lain. Begitu dia
berkelebat si gendut inipun lenyap dari pemandangan.
“Astaga! Dia kabur!” seru Wiro. “Aku harus mengejarnya!”
“Tunggu!” kata Angling Kamesworo.
“Ada apa perwira?” tanya Wiro.
“Sobat muda berjuluk Pendekar 212, kau sudah kenal lama dengan anak
gendut aneh itu?”
“Belum lama. Tapi dia telah beberapakali menolongku.”
“Kau tahu dimana bisa mencarinya? Tahu tempat kediamannya mungkin?”
Wiro gelengkan kepala.
“Ada perlu apa kau hendak mengejarnya?” tanya Angling Kamesworo lebih
lanjut.
“Ada urusan besar yang harus diselesaikannya.”
“Menyangkut dua bonang milik keraton itu bukan?”
Wiro jadi garuk-garuk kepala.
“Pendekar 212. Ketahuilah, kau juga ikut berjasa menyelamatkan puteri patih
kerajaan. Jika kau mau ikut aku ke kotaraja, niscaya patih kerajaan akan memberikan
hadiah besar padamu......”
Wiro tersenyum. “Perwira, aku harus segera mengejar si gendut itu.”
“Baiklah sobat. Atas nama kerajaan aku berterima kasih padamu. Satu hal
harap kau ingat baik-baik. Jika dua buah bonang pusaka itu kau temui, harap kau suka
mengembalikannya ke keraton.”
Murid Eyang Sinto Gendeng mengangguk lalu tinggalkan tempat itu. Dia tak
tahu harus mengejar si gendut ke mana.
Sambil berlari dia menggerutu seorang diri. “Kalau tidak diminta oleh Dewa
Ketawa, aku tak akan mau menangani urusan gila brengsek ini ! ”
BASTIAN TITO 30
ENAM
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Biduk kecil itu meninggalkan Tanjung Lenggasana tepat dipertengahan malam
Jum’at Wage ketika bulan purnama empat belsa hari tertutup oleh ketebalan awan
kelabu kehitaman. Laut berombak tenang. Angin bertiup datar. Penumpang biduk,
seorang kakek berambut panjang riap-riapan sampai ke punggung duduk di bagian
belakang biduk. Tangan kirinya yang kurus tinggal kulit pembalut tulang hanya
sesekali saja mengayuh kayu pendayung. Namun hebatnya biduk kecil itu sekali
didayung mampu meluncur jauh.
Berlainan dengan tangan kirinya si kakek memiliki tangna kanan yang tidak
pantas disebut tangan. Karena sebatas siku ke bawah tangan itu berbentuk sebuah
gergaji besi dengan gigi-giginya yang besar runcing berkilau mengerikan.
Kakek ini duduk memandang ke arah kejauhan dalam kegelapan malam. Dia
rupanya tengah memusatkan pikirannya ke suatu titik yang saat itu masih belum
terlihat.
Makin jauh ke tengah laut dia mulai melihat apa yang dibayangkannya dalam
pikiran dan coba dilihat dan ditembusnya dalam kegelapan malam.
“Perempuan itu pasti ada di sana. Firasatku mengatakan demikian. ” membatin
si kakek. Lalu dikayuhnya biduknya dua kali berturu-turut. Biduk kayu itu laksana
terbang, meluncur di permukaan air laut menembus kegalapan malam. Dia coba sekali
lagi untuk memastikan kebenaran firasatnya. Segala pikiran dan titik pandang
dipusatkan. Setelah beberapa lama apa yang dipusatkannya itu mendadak buyar.
“Aneh ! Aku tidak bisa memusatkan pikiran sepenuhnya. Pasti ada yang tidak beres. ”
Si kakek memandang ke timur. Laut tampak gelap. Dia berpaling ke barat.
Sunyi dan gelap. Perlahan-lahan dia menoleh ke belakang. “Hemm....ini
sebabnya...... ” katanya dalam hati. Jauh di belakangnya tampak sebuah perahu.
Berlayar searah dengan tujuannya. “Ada yang mengikuti. Aku akan coba
membuktikan betul tidaknya. ” Lalu kakek berambut panjang itu mengayuh tiga kali
pada bagian kanan biduk dan tiga kali pula pada samping kiri.
Terdengar suara bersiur ketika biduk melesat laksana anak panah lepas dari
busurnya. Beberapa saat kemudian si kakek kembali menoleh ke belakang. Perahu
yang tadi berada di belakang sana lenyap tak kelihatan lagi. Si kaakek tersenyum.
Hatinya lega. Kini tak ada lagi yang dirisaukannya. Tapi astaga ! Ketika dia berpaling
ke timur ternyata dilihatnya perahu tadi kini berada sejajar di sebelah kanannya.
“Kurang ajar ! Siapa orang dalam perahu itu. Kalau dia bisa bermain-main di
atas laut dengan perahunya berarti dia bukan manusia sembarangan. Dia coba
mengikutiku. Bahkan sengaja berlayar mendampingi. Dia hendak mengejekku !
Awas ! Akan kuberi pelajaran padanya ! ”
Kakek itu lalu memegang kayu pendayung erat-erat di tangan kiri. Kedua
matanya dipejamkan. Mulutnya komat-kamit. Perutnya menggembung lalu
mengempis. Hawa sakti yang mengalir dari perut orang tua itu bergerak memasuki
kayu pendayung melalaui tangan kirinya yang tampak bergetar keras. Sesaat
kemudian perlahan-lahan dibukanya kedua matanya lalu memandang lagi ke arah
timur. Perahu tadi kelihatan di arah itu malah kini tampak lebih memepet mendekat.
Si kakek berusaha memperhatikan siapa penumpang perahu itu adanya. Namun
kegelapan malam sulit ditembus.
“Sekarang kau terima hadiah dariku, penguntit gelap ! ” si kakek berkata.
Tangan kirinya yang memegang kayu pendayung diturunkan ke dalam air laut. Ujung
BASTIAN TITO 31
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kayu pendayung diarahkannya tepat-tepat ke jurusan perahu di kejauhan. Lalu
genggamannya dilepaskan. Pendayung itu meluncur satu jengkal di bawah permukaan
air laut. Laksana seekor ikan hantu pendayung melesat ke arah perahu. Tak lama
kemudian kelihatan perahu di jauhan sana hancur berantakan bagian samping kirinya
terkena hantaman pendayung !
Si kakek tertawa mengekeh. “Tamat riwayatmu penguntit tolol ! ”
Menjelang dinihari si kakek mulai dapat melihat satu titik hitam di kajauhan.
Makin sering dia pergunakan tangan kiri mengayuh, makin cepat biduk itu meluncur
makin tambah besar titik yang dilihatnya itu. Lama-lama titik itu telah berubah
menjadi sebuah noktah hitam dan akhirnya terlihat jelas. Ternyata adalah sebuah
pulau.
Biduk kecil medarat di tepi pantai. Dia memandang berkeliling. Juga menoleh
ke tengah lautan di belakangnya. Tak kelihatan apa-apa. Debur ombak yang memecah
di pantai pulau menimbulkan suara menggidikkan. Merasa aman si kakek turun dari
atas biduknya. Lalu dengan langkah bergegas dia memasuki bagian pulau yang
ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan semak belukar. Melihat caranya berjalan
yang begitu cepat tampaknya kakek ini sudah mengenal seluk beluk pulau itu. Dalam
waktu singkat dia sudah sampai di pertengahan pulau dimana terdapat sebuah gubuk
berdinding kajang beratap rumbia. Anehnya gubuk ini sama sekali tidak ada jendela
ataupun pintunya.
“Nyi bulan, kau masih saja berlaku aneh seperti dulu-dulu….” Kata si kakek
dalam hati. Setelah memandang berkeliling dan menunggu sesaat maka orang tua ini
kemudian berseru. “Nyi Bulan Seruni Pitaloka! Aku tahu kau ada dalam gubuk.
Begini caramu menyambut tamu yang datang dari jauh?!”
Sunyi sejenak lalu kesunyian itu dipecahkan oleh suara orang tertawa. Suara
tawa perempuan. Bagitu suara tawa lenyap terdengar sesuatu berkereketan. Bagian
atap gubuk yang terbuat dari rumbia tampak menguak. Tiba-tiba dari celah atap dan
dinding melesat keluar satu sosok tubuh. Di udara dia berjungkir balik beberapa kali
sebelum menjejakkan kedua kaki di tanah dan berdiri tegak hanya satu langkah di
hadapan si kakek hingga orang tua itu sesaat jadi tergagau dan mundur. Betapa tidak.
Yang berdiri di depannya adalah seorang nenek berwajah buruk kalau tidak mau
dikatakan menyeramkan. Hidungnya yang panjang bengkok dicanteli sebuah anting
bulat berwarna merah. Mulutnya yang berbibir tebal kelihatan pencong perot. Yang
menggidikkan adalah sepasang matanya. Mata si nenek berwarna hitam semua, tak
ada putihnya! Lalu rambutnya panjang berkeriting aneh dan menebar bau busuk.
Melihat si kakek tergagau atas kemunculannya yang mendadak si nenek
tertawa mengekeh sambil menggoyang-goyangkan kepalanya hingga rambutnya yang
busuk menebar bau tak sedap ke seantero tempat.
“Siapa kau?!” sentak si kakek.
Si nenek menjawab dengan tawa melengking.
“Kakek jelek. Kalau kau punya peradatan sebagai pendatang kaulah yang
harus memperkenalkan diri lebih dulu. Tapi malam ini aku sedang senang. Aku bisa
memaafkan keteledoranmu. Biar aku yang menyebut siapa dirimu. Kakek jelek,
bukankah kau orangnya yang dikenal dengan gelar si Gergaji Setan?!”
Dalam hatinya si kakek merasa terkejut. “Aku belum pernah mengenal
perempuan celaka ini. Bagaimana dia tahu namauku?”
“Gergaji Setan, lekas bilang apa keperluanmu menginjakkan kaki di pulau
Sempu ini!”
“Aku ke sini untuk mencari perempuan bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka!”
jawab si kakek.
BASTIAN TITO 32
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Hemm..... Rupanya kau satu dari sekian banyak lelaki hidung belang yang
tergila-gila pada Nyi Bulan!”
“Jangan bicara ngaco! Aku datang atas tugas yang diberikan kerajaan!”
“Ah! Hebat betul! Kerajaan mempercayai satu tugas padamu orang yang
selama ini dikenal bukan sebagai tokoh silat baik-baik....”
“Siapa aku tidak usah dipersoalkan! Tugasku lebih penting!”
“Kalau kau memang mendapat tugas dari kerajaan, apakah kau bisa
memperlihatkan surat tugasmu?”
“Kau tidak layak memeriksa! Apalagi melihat surat tugas kerajaan!”
“Hemmm..... Beigut? Kalau begitu lekas putar jidatmu, angkat kaki dan
pantatmu dari sini. Tinggalkan pulau Sempu selagi kau bisa bernafas!”
Dalam dunia persilatan si Gergaji Setan cukup dikenal dan merupakan satu
tokoh silat yang disegani walaupun dia bukan termasuk golongan putih. Ucapan si
nenek tadi jelas dirasakannya sangat merendahkan dan menghina dirinya. Namun
karena dia belum mengenal dan mengetahui siapa adanya nenek ini maka dia tidak
mau bertindak ceroboh.
“Soal pergi bukan soal susah. Hanya saja aku ingin tahu siapa kau sebenarnya
dan aku tidak akan pergi sebelum ketemu dengan Nyi Bulan Seruni Pitaloka.”
“Kau ternyat tua bangka keras kepala. Tidak melihat tingginya gunung
Mahameru di depan mata! Ketahuilah aku adalah pembantu Nyi Bulan Seruni. Semua
urusan dengan Nyi Bulan harus disampaikan lewat diriku!”
Si kakek manggut-manggut. Tangan kirinya menusap-usap mata gergaji pada
sambungan tangan sebelah kanan.
“Ternyata kau cuma seorang pembantu. Siapa sudi berurusan dengan seorang
kacung buruk sepertimu?!”
Paras buruk si nenek kelihatan berubah jadi tambah buruk. Matanya bersitkan
sinar hitam. Lalut erdengar tawanya melengking panjang.
“Tamu tak tahu diri. Menyingkirlah sebelum aku menajdi marah!”
“Nenek buruk! Jangan tolol! Lebih baik lekas kau panggilkan majikanmu!
Aku kau muntah bicara terlalu lama dengan perempuan busuk bau sepertimu!”
“Tua bangka keparat! Lihat rambutku!” teriak si nenek marah sekali.
Perempuan tua itu lalu goyangkan kepalanya. Rambutnya yang panjang
keriting bergerak aneh, tidak ubahnya seperti senjata yang membabat ke arah kepala
si Gergaji Setan.
Si kakek yang mengenakan jubah biru tak tinggal diam. Dia kebutkan lengan
jubahnya sebelah kiri. Terdengar suara berkesiuran. Serangan tangan kosong si nenek
buyar berantakan. Tubuhnya terjajar sampai tiga langkah. Di saat itu si Gergaji Setan
menekan. Dengan ganas tanagn kanannya yang berupa gergaji besi itu membabat ke
dada si nenek. Perempuan tua ini terlambat mengelak. Gergaji Setan melanda dadanya.
Tak dapat tidak dada itu akan terbabat dalam sampai setengahnya. Tapi apa yang
terjadi satu keanehan. Terdengar suara berkeresakan yang keras seolah gergaji besi
memapas benda keras.
Si Gergaji Setan terbelalak kaget dan melompat mundur. Diperhatikannya
mata gergajinya ternyata semua masih utuh. Lalu dia memperhatikan ke depan.
Pakaian si nenek robek besar di bagian dada. Tapi dia sama sekali tidak terluka. Mata
si kakek memebelalak ketika melihat pada dada kiri kanan si nenek menempel dua
buah benda bulat kuning yang ada tonjolannya di bagian tengah.
“Bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog!” seru si kakek ketika dia
mengenali benda paa yang ada di dada si nenek. Justru kemunculannya di pulau itu
adalah dalan tugas mencari dua buah bebunyian pelengkap gemelan keraton itu!
BASTIAN TITO 33
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kacung Nyi Bulan!” seru si Gergaji Setan. “Jika kau mau menyerahkan dua
buah bonang itu secara baik-baik, aku berjanji mengampuni selembar nyawamu!”
“Ha....ha hebatnya! Bagaimana kalau aku punyai dua lembar nyawa?!” ujar si
nenek pula mengejek lalu tertawa gelak-gelak.
“Kalau begitu biar aku ambil dua-duanya!” kata si kakek dengan marah.
Sekali berkelebat maka dia sudah menyerang perempuan tua itu dengan teramat ganas.
Serangannya susul menyusul laksana deru ombak menghempas karang. Si nenek
dibuat sibuk dan harus bertindak cepat kalau tidak mau kehilangan anggota badannya
putus digilas tangan gergaji. Senjata yang menjadi satu bagian dengan tangan yang
buntung itu menggerus ke dada, membabat ke lengan, kadang-kadang menukik ke
perut lalu berbalik tidak terduga ke arah leher!
Dalam satu gebrakan hebat pada jurus kedua puluh sembilan kaki kiri nenek
pembantu Nyi Bulan terpeleset. Tubuhnya tak ampun lagi jatuh terduduk di tanah.
Sebelum dia sempat berdiri lawan menyorongkan gergaji mautnya ke leher si nenek.
“Berani kau bergerak putus lehermu!” ancam si Gergaji Setan.
“Berani kau membunuhnya kubuat leleh sekujur tubuhmu!” satu suara tibatiba
terdengar membentak.
BASTIAN TITO 34
TUJUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si Gergaji Setan terkejut lalu berpaling. Si nenek yang lehernya hampir digorok
juga berusaha memalingkan kepala ke arah datangnya suara membentak itu. Saat itu
malam mulai menjelang pagi. Udara mulai terang-terang tanah. Si kakek dan si nenek
melihat seorang pemuda bertubuh kekar, berambut gondrong tegak sekitar sepuluh
langkah kanan. Kedua kakinya terkembang sedagn tangan kanannya mulai dari siku
sampai ke ujung jari kelihatan memancarkan sinar putih perak menyilaukan. Tak
berapa jauh dari pemuda ini, sedikit agak ke belakang berdiri pula seorang pemuda
lain berbadan gemuk luar biasa, mengenakan baju kesempitan dan memakai peci
hitam kupluk di atas kepalanya hampir menutupi alis.
Mata dan kulit kening si nenek tampak berkerenyit. Dia mengenali siapa
pemuda gendut gembrot itu tapi tidak mengetahui siapa adanya pemuda gagah
berambut gondrong yang tengah mengancam si Gergaji Setan dengan satu pukulan
sakti.
Sebaliknya si Gergaji Setan mengenali siapa adanya si pemuda gondrong dan
tidak tahu siapa adanya si gendut.
“Pendekar Kapak Maut 212 Wiro Sableng.... ” berkata Gergaji Setan.
“Bagaimanadi abisa muncul di pulau ini ! Apa keperluannya ! Jangan-jangan.... Dia
mengancamku dengan pukulan sinar matahari ! Gila betul!. Sekalipun aku mampu
menggorok leher perempuan celaka ini tapi rasanya aku tak bakal bisa lolos dari
hantaman pukulan sakti itu!” Gergaji Setan berpikir sesaat.
Si nenek yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka capat membaca
situasi. Kalaupun pemuda gagah itu mampu membunuh si Gergaji Setan dengan
pukulan saktinya, lehernya sendiri tak mungkin lolos dari kematian digorok gergaji
lawan. Maka sebelum si kakek mengambil keputusan dia cepat mengangkat tangan
kirinya dan melambai memberi tanda pada semua orang.
“Pemuda rambut gondrong! Jangan teruskan seranganmu! Kau tak bakal
mampu menyelamatkan nyawaku. Kakek setan keparat ini orangnya nekad! Biar aku
serahkan dua buah barang milik Nyi Bulan yang dicari dan diinginkannya! Asal saja
dia tidak menggorokku! Gergaji Setan, kau mau bersumpah tidak akan membunuhku
jika dua buah bonang yang ada di balik pakaianku aku serahkan padamu?!”
Gergaji Setan idak berpikir panjang. Jika orang sudah berkata begitu mengapa
dia harus memperpanjang urusan? Maka cepat dia berkata.
“Aku bersumpah! Tapi awas kalau kau berani menipu!”
Si nenek menyeringai. Kedua tangannya bergerak ke arah dada. Dari balik
pakaiannya dia mengeluarkan dua buah benda bundar berwarna kuning ang bagian
tengahnya menonjol ke atas.
Pendekar 212 dan Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak tak jauh dari tempat itu
sama-sama saling pandang.
“Bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog…..?” bisik Bujang Gila
Tapak Sakti. Wiro mengangguk. “Heran. Bagaimana dua peralatan keraton yang
hilang itu berada di tangan si nenek tak dikenal ini?’
“Nenek!” Bujang Gila Tapak Sakti berseru. “Kau harus menyerahkan dua
buah bonang milik Keraton itu padaku!”
“Gendut! Aku tidak berurusan denganmu! Tapi dengan kakek berjuluk Gergaji
Setan ini! Dia utusan Kerajaan yang ditugasi mencari dua buah bonang ini! Aku
merasa tidak ada gunanya menahan alat bebunyian ini lebih lama…..” Lalu si nenek
BASTIAN TITO 35
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
serahkan dua buah bonang itu pada si Gergaji Setan yang segera diterima dan cepatcepat
dimasukkan ke dalam jubah birunya. Perlahan-lahan tangan gergajinya
dijauhkan dari leher si nenek.
“Nenek!” kini Wiro yang berseru. “Bagaimana kau tahu kalau dia memang
betul-betul utusan Kerajaan?!”
“Apa perdulimu!” menyahuti si nenek yang merasa nyawanya kembali setelah
senjata maut yang tadi menempel di lehernya diangakt ke atas.
Gergaji Setan menyeringai. Dengan tangan kirinya dikeluarkan secarik kertas
lalu dilemparkannya ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
“Itu surat tugasku! Ada cap Kerajaan! Kau lihat dan baca sendiri kalau tidak
percaya!” kata si Gergaji Setan. Lalu sekali dia bergerak, tubuhnya sudah melesat
lima langkah.
“Gergaji Setan! Kau membatalkan niatmu menemui majikanku Nyi Bulan
Seruni Pitaloka?!” berseru si nenek.
Tanpa berpaling si Gergaji Setan menyahuti. “Perlu apa lagi aku menemui
janda itu. Dua buah bonang pusaka Keraton sudah ada padaku!”
Sementara itu begitu si Gergaji Setan berkelebat pergi Wiro memberi isyarat
pada Bujang Gila Tapak Sakti yang tegak di sampingnya agar si gendut ini segera
mengambil kertas yang tadi dilemparkan si Gergaji Setan. Pemuda gendut ini cepat
mengambil kertas itu. Dia kelihatan memutar-mutar dan keningnya berkerut-kerut.
“Sialan!” damprat Wiro. “Kalau tidak bisa baca bilang saja!” Wiro lalu
menarik kertas itu dari tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang hanya bisa menyeringai
tersipu-sipu.
Cepta Wiro meneliti dan membaca surat tugas itu. Di bagian bawah memang
ada cap Kerajaan. Sebelumnya murid Eyang Sinto Gendeng sudah sering melihat
surat-surat penting yang dikeluarkan Kerajaan. Sekali melihat saja dia segera
mengetahui bahwa cap Kerajaan itu palsu. Berarti surat tugas itupun palsu!
“Surat ini palsu!” teriak Pendekar 212 lalu berpaling ke arah larinya si Gergaji
Setan. Saat itu si kakek sudah bergerak sejauh dua puluh langkah. Wiro dan Bujang
Gila Tapak Sakti kemudian sama menoleh pada si nenek berhidung bengkok.
Anehnya perempuan tua berwajah buruk ini tampak menyeringai lalu
terdengar suara tawanya mula-mula perlahan kemudian mengeras tinggi.
“Pagi-pagi aku sudah tahu kalau surat itu palsu! Siapa yang tidak kenal
dengan si Gergaji Setan? Tokoh silat berhati culas yang bisa jadi ular kepala lima!”
“Tapi dua buah bonang itu sudah jatuh ke tangannya! Apa yang hendak kau
lakukan?!” ujar Wiro sambil garuk-garuk kepala.
“Betul! Kalau kau sudah tahu surat itu palsu, mengapa dua buah bonang
pusaka itu kau serahkan padanya. Jangan-jangan kau berkomplot dengan dia. Karena
melihat kedatangan kami! Hayo lekas katakan apa yang akan kau lakukan?!” menukas
Bujang Gila Tapak Sakti.
“Lihat saja!” jawab si nenek tak acuh. Lalu dia melompat bangkit.
Pandangannya diarahkan pada si Gergaji Setan yang saat itu berada hampir dua puluh
langkah di kejauhan dan siap lenyap di balik serumpunan semak belukar.
Dari tempatnya berdiri baik Pendekar 212 maupun Bujang Gila Tapak Sakti
dapat melihat bagaimana sepasang mata si nenek yang keseluruhannya berwarna
hitam mengeluarkan kilatan menggidikkan. Lalu perempuan ini tampak anggukkan
kepalanya dua kali berturut-turut.
Wuss!
Wusss!
BASTIAN TITO 36
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Dari kedua mata si nenek melesat keluar dua larik sinar hitam berbentuk dua
garis lurus. Udara di tempat itu serta merta terasa panas. Dua larik sinar hitam
berkiblat ke arah si Gergaji Setan. Kakek ini baru sadar kalau dirinya diancam bahaya
ketika dua larik sinar sudah begitu dekat. Dia berpaling dan berseru keras lalu cepat
menyingkir. Namun terlambat. Dua larik sinar hitam keburu menghantam punggung
dan pinggangnya.
Terdengar jeritan si Gergaji Setan sekali lagi. Tubuhnya terkapar di samping
semak belukar. Bagian punggung berlobang besar dan mengepulkan asap berbau
sangitnya daging tubuh yang terbakar. Bagian pinggang laksana dipanggang dan
hampir putus. Si Gergaji Setan menemui ajal secara sangat mengerikan.
Bujang Gila Tapak Sakti leletkan lidah sementara Pendekar 212 Wiro Sableng
hanya bisa menyaksikan kejadian itu sambil garuk-garuk kepala.
“Panasnya udara ini! Aku tak tahan!” kata Bujang Gila Tapak Sakti lalu
keluarkan kipas kertasnya dan mulai berkipas-kipas. “Aku harus pergi dari sini tapi
dia buah bonang itu harus kuselamatkan lebih dulu!” Lalu si gendut ini hendak
melangkah ke arah mayat si Gergaji Setan. Namun langkahnya tertahan ketika dia
mendengar suara tertawa bergerak dari arah depan sementara Wiro dan si nenek
tampak tercekat.
Sesaat kemudian dari balik semak belukar di dekat mana mayat si Gergaji
Setan terkapar muncul satu sosok tubuh gendut, berambut putih yang digulung ke atas,
bermata sipit dan menunggangi seekor keledai kurus pendek.
“Dewa Ketawa!” ujar Wiro.
Orang gendut yang barusan datang menunggang keledai memang benar si
kakek aneh yang dikenal dengan panggilan Dewa Ketawa adanya. Dengan matanya
yang sipit dia memandang si neenk, Wiro dan agak terkejut ketika melihat Bujang
Gila Tapak Sakti juga ada di situ.
“Kerbau Bunting! Ada apa kau tahu-tahu muncul di sini?!” Wiro menegur.
Si kakek meledak tawanya.
“Aku senang kau masih mau memanggil aku dengan sebutan Kerbau Bunting
itu ! Ha...ha....ha... ! Pendekar 212 apakah kau ada baik-baik saja ? Ketahuilah kita
semua berada di sini dengan tujuan yang sama. Mencar dan menemukan kembali dua
buah bonang pusaka milik Keraton. Gusti Allah menolongku dan memberi
keberuntungan padaku hingga aku tidak terlambat !” Lalu si kakek gendut ini turun
dari keledainya. Dengan cepat dia memeriksa dada pakaian si Gergaji Setan. Lalu
tampak dia mengeluarkan dua buah bonang yang terbuat dari besi kuning itu dan
memasukkannya ke dalam kantong perbekalan yang tergantung di leher keledai.
Sambil tertawa-tawa si kakek lambaikan tangannya. “Selamat tinggal kalian bertiga.
Aku merasa tak ada kepentingan lain lagi di pulau ini !”
“Tunggu ! Aku punya kepentingan !” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Dewa Ketawa menoleh pada pemuda gendut itu. Sambil naik ke punggung
keledainya dia berkata. “Ah, kau rupanya. Kucari ke puncak Mahamer. Kukira kau
sudah jadi batu. Mungkin juga sudah jadi santapan binatang buas. Nyatanya kau
masih hidup dan ada di sini ! Ha....ha.....ha.... ! Coba kau katakan apa
kepentinganmu !”
“Pertama, kau harus serahkan kedua bonang itu padaku ! Kedua aku ingin
menggebukmu. Tujuh tahun kau memendamku dalam lobang inti es !”
Dewa Ketawa tertawa gelak-gelak. “Apa yang kau katakan itu bukan
kepentingan ! Pertama, dua buah bonang itu bukan milikmu. Kedua kau kuhukum
karena memang berbuat salah yaitu mencuri dua buah bonang ini ! Ciluk baaaaa.
Maluuuuu...... !”
BASTIAN TITO 37
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Diejek begitu rupa Bujang Gila Tapak Sakti jadi naik darah. Sekali lompat
saja dia sudah sampai di depan Dewa Ketawa. Tapi si kakek gendut tidak kalah cepat.
Dia menggebrak pinggul keledainya. Binatang dan penunggangnya melesat ke depan,
lenyap di balik pepohonan.
“Paman jahat sialan ! Apa kau kira bisa kabur seenaknya ?!” teriak Bujang
Gila Tapak Sakti. Dia coba mengejar. Tapi dari arah depan ada satu gelombang angin
menghantam dengan tiba-tiba. Demikian derasnya gelombang ini hingga pemuda
gemuk itu walaupun memiliki bobot hampir 150 kati tetap saja terpelanting dan jatuh
tunggang langgang.
Bujang Gila Tapak Sakti membalas dengan mendorongkan telapak tangan
kanannya. Terdengar suara berkesiuran ketika ada angin kencang menggebubu keluar
dari telapak tangan si pemuda. Braak....! Braaaakkkkkk! Semak belukar rambas
berpelantingan. Pohon-pohon kecil bertumbangan. Namun selanjutnya serangan angin
sakti yang dilepaskan Bujang Gila Tapak Sakti itu hanya melanda tampat kosong.
“Keparat sialan! Paman celaka itu akan kukejar kemanapun dia pergi!”
serapah si pemuda lalu melompat dan berkelebat ke arah lenyapnya Dewa Ketawa.
Mengejar sampai puluhan tombak Bujang gila Tapak Sakti masih belum menemukan
si orang tua. Dia terus mengejar hingga akhirnya sampai di tepi pantai. Saat itu udara
telah semakin terang. Langit di ufuk timur tampak benderang. Memandang ke tengah
laut Bujang Gila Tapak Sakti jadi melengak, tarik nafas dalam dan bantingkan
kakinya ke pasir pantai.
Saat itu jauh di tengah laut tampak sebuah perahu meluncur dengan cepat
memecah gelombang pagi. Di atas perahu ada seekor keledai dan di bagian belakang
tampak orang tua gendut berjuluk Dewa Ketawa itu!
“Setan! Setaaaannnnnn!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti sambil meninjuninjukan
tangan kanannya ke telapak tangan kiri. Dia mencebur masuk ke dalam air
laut. Kedua tangannya dipukulkan ke atas air. Terjadilah suatu yang luar biasa.
Dengan kesaktiannya air laut yang dipukul itu bergulung besar membentuk
gelombang tinggi lalu menghantam ke tengah laut tempat beradanya perahu Dewa
Ketawa. Perahu itu sempat bergoncang keras oleh hantaman gelombang yang
memukulnya. Namun perahu itu sudah berada terlalu jauh ke tengah. Hantaman
pukulan sakti Bujang Gila yang membuat gelombang besar itu hanya mampu
menggoncangkannya, sama sekali tidak mampu membuatnya terbalik!
Sadar dia tidak bisa berbuat banyak lagi, sambil memaki panjang pendek
Bujang Gila Tapak Sakti keluar dari laut. Dia menghampiri sebatang pohon kelapa
besar.
Tangan kanannya bergerak.
Braaakk!
Pohon kelapa itu berderak patah lalu tumbang. Si pemuda gosok-gosokkan
kedua tangannya hingga ada hawa dingin mengalir. Lalu dengan kesaktian luar biasa
yang dimilikinya, hanya dengan mempergunakan tangan kosong, batang kelapa besar
itu dibentuknya menjadi sebuah perahu ramping. Selesai membuat perahu dia
mematahkan dua batang kayu untuk dijadikan pendayung.
Ketika Pendekar 212 Wiro Sableng yang mengikuti Bujang Gila Tapak Sakti
sampai pula di tepi pantai, dilihatnya pemuda gendut itu sudah berada di tengah
lautan, duduk di atas batang kelapa berbentuk perahu seperti menunggang kuda.
Kedua tangannya kiri kanan bergerak cepat mendayung hingga sebentar saja perahu
itu semakin jauh ke tengah dan akhirnya lenyap dari pemandangan Pendekar 212
Wiro Sableng.
BASTIAN TITO 38
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kini murid Eyang Sinto Gendeng dari gunung Gede inilah yang memaki
panjang pendek karena ditinggal begitu saja. Padahal sebelumnya mereka datang ke
pulau itu bersama-sama. Di tengah laut perahu mereka hancur berantakan oleh
pendayung yang dihantamkan si Gergaji Setan dan mati-matian keduanya terpaksa
berenang untuk mencapai pulau Sempu yang menjadi tujuan mereka di mana
diketahui beradanya Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang menguasai dua buah bonang
perlengkapan gamelan Keraton.
Selagi Wiro mengomel seorang diri seperti itu tiba-tiba satu suara menegurnya.
“Tak ada gunanya mengomel anak muda berambut gondrong. Dewa Ketawa
dan keponakannya sudah pergi jauh. Dua buah bonang yang kau cari juga tak ada lagi
di sini.”
Tanpa berpaling Wiro menjawab.”Kalau saja ada perahu di tempat ini pasti
sudah kukejar paman dan keponakan sialan itu. Gara-gara mereka aku jadi tersesat ke
pulau ini!”
Di belakangnya terdengar suara orang tertawa.
“Dalam hidup ini memang banyak hal yang membuat kita kecewa. Tapi apa
kau tahu justru banyak manusia yang sengaja mencari kekecewaan….?”
Ucapan ini membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi memutar tubuh. Kini
dia berhadap-hadapan dengan nenek berwajah buruk yang mengaku pembantu Nyi
Bulan Seruni Pitaloka itu.
BASTIAN TITO 39
DELAPAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kau rupanya….. kataWiro agak kaget. Kedua matanya menatap lekat-lekat pada
wajah buruk perempuan tua itu.
“Kau terkejut anak muda?” tanya si nenek.
“Ya, kukira siapa…..” jawab Wiro lalu mulutnya menyunggingkann senyum.
“Kau manusia aneh. Barusan kau memperlihatkan rasa kaget, kini malah
tersenyum. Apa ada yang lucu? Atau kau menertawaiku? Awas kau….”
“Sabar nek,” kata Wiro cepat seraya mundur satu langkah karena dilihatnya si
nenek menggerakkan tangan kanan. “Dari jauh wajahmu kelihatan seram. Tapi
setelah dekat begini rupa kurasa sebenarnya wajahmu bukan seram tapi malah lucu!”
“Kurang ajar, apakah kau hendak mempermainkan orang tua yang umurnya
lima kali usiamu?!” bentak si nenek.
“Maafkan aku,” kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. “Aku tersenyum karena
belum pernah melihat orang pakai anting di cuping hidung sepertimu. Setahuku orang
pakai anting di telinga. Hidungmu walau bengkok kulihat bagus. Sayang hidung
dilobangi untuk dicanteli anting. Eh, apa kau pernah punya kekasih nek?”
“Sialan! Apa maksud pertanyaanmu?!” sentak si nenek.
“Tidak ada maksud apa-apa. Cuma aku mau tahu saja kalau kekasihmu
menciummu apa dia tidak repot karena ada anting besar merah di hidungmu itu?!”
Si nenek kelihatan marah namun sesaat kemudian dia tersenyum lalu meledak
tawanya tinggi dan panjang.
“Sekarang aku yang bertanya nek. Mengapa kau tertawa begini rupa?”
Perempuan tua itu geleng-geleng kepala. “Aku mau tanya dulu, apa betul kau
orangnya yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 seperti yang diucapkan
si Gergaji Setan tadi?”
Wiro kembali garuk-garuk kepala.
“Hai! Kulihat dari tadi kau menggaruk kepala berulang kali. Pasti kau sudah
lama tidak mandi. Cuci mukapun mungkin juga tidak.....”
Si nenek lalu tertawa mengekeh sementara Wiro hanya tegak tersipu-sipu.
“Ah, seharusnya aku tidak layak bicara dan tertawa-tawa dengan orang yang
pantas jadi cucuku.....”
“Aku yakin kau sebenarnya seorang ramah, nek.” Kata Wiro memuji lalu
pemuda ini melihat ada kerlipan sinar aneh pada kedua mata yang hitam dari si nenek.
“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa benar kau Pendekar 212 Wiro
Sableng?”
“Sebetulnya aku orang biasa saja. Orang lain saja yang macam-macam
menjuluki diriku yang bukan-bukan.”
“Kau datang ke pulau Sempu ini ada keperluan apa?”
“Aku datang bersama si gendut brengsek itu.....”
“Ya, aku tahu siapa dirinya. Namanya Santiko, dipanggil orang dengan nama
Bujang Gila Tapak Sakti. Kau bersahabat dengan dia....?”
“Bersahabat benar ya tidak. Soalnya dia sering mengencingiku. Kalau sahabat
masakan tega mengencingi kawan sendiri!”
Si nenek tak dapat menahan tawanya. Dia tertawa hingga kedua matanya yang
hitam berair. Wiro memperhatikan wajah dan sepasang mata perempuan itu.
“Aku tahu! Seperti si gendut itu kau kemari untuk mencari dua buah bonang
milik Kerajaan. Betul?!”
BASTIAN TITO 40
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Wiro mengangguk. “Dewa Ketawa, paman Bujang Gila Tapak Sakti yang
meminta aku untuk mendapatkan dua buah peralatan gamelan itu, Keraton kini
dilanda kebingungan besar dengan lenyapnya dua buah alat berbunyian itu. Kabarnya
Nyi Bulan Seruni Pitaloka yang mencurinya....”
“Dari mana kau tahu janda itu yang mencurinya?”
“Dia bukan mencuri, dia hanya menyuruh seseorang untuk mengambilnya.
Yaitu si gendut Bujang Gila Tapak Sakti itu!”
Wiro menyeringai. “Kalau begitu, si Bujang Gila adalah maling kecil karena
dia hanya disuruh saja. Dan Nyi Bulan berarti yang jadi maling besarnya karena dia
biang keroknya!”
“Enak saja kau mengatakan majikanku biang kerok. Kutampar pecah
kepalamu!” si nenek mengancam.
Wiro angkat tangannya. “Jangan aku ditampar nek. Aku hanya ingin bertanya
satu kali lagi. Setelah itu akan pergi dari sini.”
“Apa yang hendak kau tanyakan.....?” Dua mata si nenek menyorot ke arah
Wiro.
“Apa betul kau pembantunya Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu?”
Si nenek terdiam sesaat. Lalu “Eh, ada perlu apa kau bertanya begitu?!”
“Kalau kau tak mau menjawab sudahlah. Aku pergi. Tapi.....” Wiro
memandang berkeliling. “Laut begini luas. Tak punya perahu tak mungkin berenang.
Bagaimana aku bisa pergi dari sini….” Wiro memandang pada si nenek. “Jika kau
berada di pulau ini berarti kau punya perahu untuk datang ke sini. Apa aku boleh
meminjam perahumu nek?”
“Enak bicaramu! Kalau aku pinjami lalu aku mau pakai apa nanti?”
“Bukankah di sini ada dua buah perahu?” ujar Wiro pula.
“Dari mana kau tahu?!”
“Bukankah kau tinggal di sini bersama Nyi Bulan? Berarti paling tidak ada
dua buah perahu di tempat ini.”
“Nyi Bulan sedang tidak ada di pulau ini. Dia pergi dengan perahunya. Hanya
ada satu perahu di sini. Kalaupun ada dua aku tak akan memeberikannya padamu.
Kau datang mau-maumu sendiri. Silahkan pergi semaumu pula!”
“Ah, nasibku jelek amat kalau begitu!” ujar Wiro seraya garuk-garuk kepala.
“Nek, kau pernah melihat kuda melahirkan?’
“Apa-apaan kau bertanya seperti itu?”
“Jikalau kau tertarik, aku punya seekor kuda betina di teluk. Sedang hamil
besar. Kurasa hari ini adalah hari dia akan melahirkan. Paling tidak besok. Kalau kau
ingin melihat kita bisa pergi bersama-sama....”
“Itu hanya akalmu saja agar kau bisa meninggalakan pulau ini, naik perahu
bersamaku. Kau cerdik tapi ketololanmu bisa kubaca!”
Wiro menghela nafas dalam lalu berkata. “Aku mau pergi. Jadi kau tak
bersedia menolong?’
“Dari tadi kau selalu bilang mau pergi. Mau pergi. Tapi tidak pergi-pergi.
Sudah pergi sana !”
“Sebelum pergi aku ingin melihat tempat kediaman Nyi Bulan dulu. Mungkin
dia bisa menolongku.”
“Kau tak layak melihat. Bukan sembarang orang boleh masuk !”
“Hemmm begitu?” kata Wiro seraya usap-usap dagunya. “Tadi kulihat kau
keluar dari dalam gubuk kajang beratap rumbia tak ada pintu tak ada jendela. Apa di
gubuk aneh itu kediamanmu bersama Nyi Bulan? Tadi aku diam-diam coba mengintip
ke dalam gubuk. Di dalam ternyata kosong melompong. Tak ada apa-apanya. Tapi di
BASTIAN TITO 41
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
bawah lantai tanah aku merasa ada sesuatu tersembunyi. Mungkin kau dan
majikanmu itu tinggal di bawah tanah seperti undur-undur!”
Paras si nenek berubah. Wiro menatapnya dengan tersenyum lalu berkata
“Aku suka melihat kedua matamu yang hitam semua tak ada putihnya itu. Apakah
Nyi Bulanmu yang membuatkan mata itu untukmu? Jangan-jangan pendanganmu bisa
tembus hingga kau bisa melihat auratku sebelah dalam….!”
“Pemuda lancang! Mulutmu kurang ajar!” teriak si nenek. Dia maju selangkah
hendak memukul. Wiro hanya tegak diam. Perlahan-lahan si nenek tarik pula
tangannya. Dia membalikkan tubuh dan terdengar berucap. “Lekas tinggalkan pulau
Sempu ini sebelum aku berna-benar marah!”
“Aku tidak akan mau pergi sebelum tahu siapa kau sebenarnya. Jangan-jangan
kau adalah Nyi Bulan janda yang tersohor sampai di Kotaraja itu.”
Terdengar suara tercekat. Si nenek membalik dan kini kedua matanya yang
hitam pekat tampak berkilat-kilat memandang pada Pendekar 212.
“Nek....” kata Wiro perlahan seraya mengulurkan tangan memegang lengan
perempuan tua itu.
“Eh! Berani-beraninya kau memegang diriku!” tangan si nenek lalu menampik
tangan si pemuda.
“Nek, kalau kau tak mau mengatakan siapa dirimu sebenarnya tak jadi apa.
Terus terang aku sudah tahu keadaan dirimu sebenarnya. Nah, aku memang harus
pergi. Aku terpaksa mencari batang pohon dulu untuk kujadikan perahu!”
Wiro membalikkan diri lalu melangkah ke arah sederet pepohonan.
“Tunggu dulu!” seru si nenek.
Wiro hentikan langkah dan berpaling.
“Apa yang kau ketahui tentang diriku?! Lekas jawab !”
Wiro terdiam sesaat. Kedua matanya menatap wajah dan sepasang mata hitam
si nenek. Dipandang lama dan lekat seprti itu membuat si nenek seperti gelisah lalu
palingkan wajahnya ke jurusan lain.
“Aku tahu kau bukan pembantu atau kacungnya Nyi Bulan Seruni Pitaloka !”
kata Wiro.
Bahu si nenek tampak bergetar.
“Apa lagi yang kau ketahui?”
“Sudahlah! Buat apa kita bertanya jawab panjang lebar. Akan mulai membuat
perahu sebisaku.” Lalu Wiro keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik
pakaiannya. Si nenek terkesiap melihat kapak sakti bermata dua yang memancarkan
sinar menyilaukan itu. Dalam hati perempuan tua ini berkata. “Mungkin senjata
mustika itu bisa menolongku memecahkan masalah. Tapi apakah pemuda ini bisa
dipercaya.....? Kadang-kadang kulihat dia seperti kurang waras. Kadang-kadang
ucapannya kurang ajar seenaknya..... Bagaimana ini? Tapi kalau tidak kucoba rasanya
tidak puas hatiku.”
“Pendekar 212!” memanggil si nenek.
“Eh, ada apa lagi ini?”
“Aku ingin membuat perjanjian denganmu!”
“Perjanjian? Perjanjian apa?” tanya Wiro.
“Temui aku tengah malam dua hari dari sekarang di Candi Gajah di bukit
Imogiri....”
Wiro tersenyum lalu tertawa panjang. “Jika kau seorang gadis cantik jelita
tanpa dimintapun aku malah berharap dapat bertemu denganmu. Siapa sudi berjanji
denganmu nek.”
“Jangan bergurau. Aku tidak main-main....”
BASTIAN TITO 42
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Aku juga tidak main-main,” sahut Wiro.
Si nenek tampak marah sekali. Tiba-tiba tanagn kanannya bergerak ke arah
wajahnya. Dia membuat gerakan seperti merenggutkan sesuatu. Di lain saat Wiro jadi
melengak kaget. Si nenek ternyata telah menarik lepas sehelai topeng kulit yang halus
sekali dari kepalanya. Kini kelihatanlah satu wajah perempuan muda luar biasa
cantiknya. Bahkan kedua mata si nenek yang semula hitam pekat kini tampak putih
hitam bening berkilat indah sekali.
“Siapa kau sebenarnya….?” Tanya Wiro masih setengah tercekat dan kagum.
“Apa kau masih tak membuat janji bertemu denganku di bukit Imogiri?!”
“Ah…!” Wiro menyeringai. “Katakan dulu siapa dirimu sebenarnya. Janganjangan
kau adalah setan pulau atau jin laut yang memperlihatkan diri sebagai nenek
lalu berubah menjadi perempuan muda dan cantik…”
“Kau selidikilah sendiri!” kata si jelita. Lalu dia menggerakkan kedua kakinya.
Tubuhnya melesat ke atas atap gubuk. Bersamaan dengna itu atap gubuk terbuka dan
tubuh perempuan itupun lenyap masuk ke dalam gubuk. Wiro mengejar, melompat
dan coba ikut menyusup tapi atap gubuk yang terbuat dari rumbia itu sudah menutup
kembali.
“Sialan!” maki Wiro. Karena masih menggenggam Kapak Maut Naga Geni
212 di tangannya, semula murid Eyang Sinto Gendeng ini hendak pergunakan senjata
itu untuk menghancurkan atap. Tapi dia berpikir. “Si nenek sepertinya tidak berniat
jahat terhadapku. Ada satu rahasia yang disembunyikannya. Kalau aku merusak
gubuk ini mungkin dia akan marah besar dan aku bisa dapat kesulitan.” Setelah
berpikir lagi sesaat akhirnya Pendekar 212 turun dari atas atap. Dia mengorek dinding
gubuk sedikit lalu mengintai ke dalam. Tak ada benda apapun di situ, kecuali hanya
lantai tanah. “aneh, kesaktian apa yang dimiliki perempuan itu hingga bisa lenyap
begitu rupa? Apakah dia amblas menembus tanah?”
Sambil geleng-geleng kepala Wiro akhirnya tinggalkan tempat itu. Tiga
langkah dia berjalan dari arah gubuk terdengar suara orang berseru. Suara perempuan.
“Pendekar 2121! Berjalanlah dua ratus langkah ke arah timur! Kau akan
menemukan tiga buah perahu. Kau boleh mengambil salah satu untuk menyeberang
ke daratan”!
Wiro tertawa perlahan lalu menjawab. “Terima kasih nek! Eh, siapa kau.
Nenek atau gadis jelita adi. Ya sudah terima kasih nek gadis!” Wiro tertawa gelakgelak
lalu melangkah cepat ke jurusan sesuai petunjuk suara tadi.
BASTIAN TITO 43
SEMBILAN
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Keledai kurus dan pendek itu kelihatan seperti terbang memasuki pintu gerbang
Kotaraja di sebelah timur. Dewa Ketawa yang berada di atas punggung binatang ini
tampak tersenyum-senyum.
“Kalau malam ini bisa kutemui sang Patih berarti selesailah urusan gila ini!
Sialan betul! Lebih dari tujuh tahun aku dibuat tersiksa. Gara-gara keponakan kurang
ajar itu!”
Dalam waktu singkat Dewa Ketawa sampai di hadapan sebuah gedung bagus
yang di bagian depannya tampak menyala sebuah lampu minyak besar. Inilah gedung
kediaman Patih Kerajaan. Dua orang pengawal yang tengah bertugas segera
menghadang di pintu masuk.
“Orang tua penunggang keledai. Kami tidak kenal siapa dirimu. Apa
keperluanmu malam-malam mendatangi tempat kediaman Patih Kerajaan?”
Dewa Ketawa menatap tampang pengawal yang barusan menegur lalu tertawa
perlahan. “Pengawal konyol, kau tidak perlu mengenal aku. Adapun keperluanku
ialah hendak menemui Patih Kerajaan. Katakan padanya Dewa Ketawa datang
menghadap.”
“Apa? Siapa? Namamu Dewa Ketawa. Eh, betul….?” Pengawal satunya
bertanya terheran-heran.
Orang tua gendut di atas keledai itu menjawab dengan suara gelak berderai.
“Lekas beri tahu Patih Kerajaan. Aku datang membawa urusan penting. Disamping
itu aku juga ingin minta kopi manis. Minum kopi malam-malam begini tentu nikmat
sekali!”
“Orang tua, maan mungkin kami akan memberi tahu Patih bahwa ada orang
yang hendak menghadap malam-malam buta begini. Salah-salah kami bisa kena
tendangan!”
“Kalau begitu biar aku yang memberitahu langsung!” Dewa Ketawa lalu
menggebrak keledainya. Dua orang pengawal cepat mencegah namun keduanya
segera terpental jungkir balik di tanah. Ketika Dewa Ketawa mencapai tangga dan
hendak bertindak turun tiba-tiba seorang pemuda bertubuh tinggi tegap muncul dan
menegur sopan.
“Orang tua, keu tentu datang dari jauh dan membawa urusan penting. Mari
kusuruh orang menjaga keledaimu. Kau harap memberi tahu apa keperluanmu.”
“Kau betul. Aku membawa satu urusan maha penting. Aku ingin menghadap
Patih Kerajaan,” jawab Dewa Ketawa.
“Ah, kau tentu orang penting yang tengah ditunggu-tunggu oleh Patih. Namun
patut saya beritahu sejak sore tadi Patih kurang sehat. Saat ini dia baru saja pulas.
Tentu kau sependapat denganku bahwa terlalu tidak sopan kalau dia dibangunkan.
Apakah kau tidak keberatan menunggu sampai pagi datang. Lalu kita sama-sama
menghadapnya. Di samping itu kau tentu sangat letih, ingin istirahat. Paling tidak
sebelum merebahkan diri di kasur yang empuk kau juga ingin menikmati kopi hangat
barang seteguk dua teguk.”
Melihat orang menyapa dengan ramah dan sopan serta tampang si pemuda
yang gagah disertai potongan tubuh yang kekar, Dewa Ketawa tertawa bergelak dan
angguk-anggukkan kepala.
“Tawaran bagus, siapa mau menolak?!” katanya. Diambilnya buntalan yang
tergantung di leher keledai.
BASTIAN TITO 44
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Kalau begitu ikuti saya,” kata si pemuda pula. Dia memanggil seorang
pengawal dan memerintahkan agar mengurus keledai Dewa Ketawa. Lalu pemuda ini
memberi tanda agar Dewa Ketawa mengikutinya.
“Anak muda, siapa namamu dan apa jabatanmu di gedung kepatihan ini?”
bertanya si gendut bermata sipit Dewa Ketawa.
“Saya Angling Kamesworo, hanya seorang pembantu Patih Kerajaan....”
jawab si pemuda.
“Ah sungguh luar biasa. Semuda ini kau sudah menduduki jabatan yang begitu
tinggi.Tak lama lagi kau tentu akan diangkat menjadi Patih menggantikan Patih yang
sekarang.....”
“Aku masih harus banyak belajar....” jawab Angling Kamesworo. Dia
membawa orang tua itu ke dalam sebuah kamar yang cukup luas. Selain ada
seperangkatan kursi juga ada sebuah ranjang berkasur tebal dan empuk.
“Orang tua, kau belum memperkenalkan dirimu. Harap kau suka memberi
tahu....”
“Panggil aku Dewa Ketawa....”
“Astaga! Sungguh mataku buta tidak melihat Mahameru di depan mata!” kata
Angling Kamesworo lalu membungkuk dalam-dalam. “Dewa Ketawa, silahkan duduk.
Kalaupun kau hendak langsung istirahat dan tidur silahkan naik ke atas ranjang itu....”
Dewa Ketawa tertawa dulu lalu meletakkan buntalan yang dibawanya di atas
meja. Dari dalam buntalan terdengar suara seperti dua benda keras saling beradu atau
bergesekan.
“Dewa Ketawa, saya lihat kau membawa dan meletakkan buntalan itu dengan
sangat hati-hati. Isinya tentu benda sangat berharga....” kata Angling Kamesworo
yang sejak tadi memeperhatikan buntalan buruk yang dibawa si tua gendut ini .
Dewa Ketawa mengekeh. “Pandangan matamu tajam, kau jelas orang cerdik.
Tidak salah kalau kau dipercayakan Sultan jabatan yang tinggi. Karena kau orang
baik dan setelah aku tahu kau ternyata orang kepercayaan kerajaan maka aku tidak
akan menyembunyikan rahasia lagi apa yang kubawa dalam buntalan itu. Tapi aku
ingin kau menerkanya lebih dulu Angling Kamesworo.”
Si pemuda tersenyum. “Kalau saja saya mempunyai kesaktian untuk dapat
melihat tembus, tentu saya bisa menerka isi buntalanmu itu Dewa Ketawa. Sayang
saya tidak pnya kepandaian itu....”
Dewa Ketawa tertawa panjang. Dia merasa semakin suka pada pemuda ini.
“Baiklahm akan kukatakan padamu. Buntalan butut ini berisi dua buah benda maha
berharga bagi Kerajaan. Dua buah bonang pelengkap perangkat gamelan Kraton yang
hilang ada di dalamnya! Akan kuserahkan pada Sultan melalui Patih Kerajaan!”
“Gusti Allah Maha Kuasa!” kata Angling Kamesworo.
“Dua buah bonang pusaka dan sangat keramat itu akhirnya ditemui juga.
Dewa Ketawa, Sultan pasti akan memberikan hadiah besar luar biasa padamu. Bukan
mustahil kau akan diangkatnya menjadi Adipati di satu wilayah penting!”
Dewa Ketawa tertawa bergelak.
“Tua bangka yang sudah bau tanah sepertiku ini sama sekali tidak
mengharapkan hadiah besar, juga tidak menginginkan jabatan. Kalau dua benda
pusaka itu sudah kembali patut kita semua bersyukur. Lenyapnya dua buah bonang ini
ada hikmahnya Angling. Yaitu agar kita semua lebih waspada agar jangan terjadi lagi
hal seperti itu. Omong-omong, bolehkah aku minta kopi hangat berang secangkir?
/aku memang letih tapi belum mengantuk benar.”
“Akan saya suruh orang menyiapkannya. Saya sendiri nanti yang akan
membawanya ke mari.”
BASTIAN TITO 45
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Si gendut kembali tertawa panjang sementara Angling Kamesworo membuka
pintu kamar dan segera keluar.
Tak lama kemudian pemuda ini muncul kembali membawa sebuah cangkir
besar. Bau harumnya kopi menebar dalam kamar itu. Dewa Ketawa tertawa lebar
menyambuti cangkir yang diserahkan padanya.
“Silahkan menikmati kopinya. Sehabis minum kau bisa istirahat. Besok pagipagi
sekali saya akan menghubungi Patih dan memberi tahu kedatanganmu....”
“Terima kasih anak muda,” kata Dewa Ketawa. Kopi yang masih sangat panas
itu langsung saja diteguknya, membuat Angling Kamesworo terkesiap karena ternyata
panasnya minuman itu tidak membuat bibir, mulut ataupun lidah si kakek gendut
melepuh. Dari situ saja dia sudah mengetahui begaimana saktinya orang ini.
“Saya minta diri dulu. Sampai besok pagi....” kata Angling Kamesworo seraya
membungkuk lalu melangkah ke pintu.
“Sampai besok pagi !” menyahuti Dewa Ketawa. Sesaat dia memperhatikan
pemuda itu menutup pintu kamar lalu kembali meneguk kopinya hingga habis. Orang
tua ini meletakkan cangkir di atas meja lalu menggeliat beberapa kali. Perlahan-lahan
dia bangkit dari kursi. Sekujur tubuhnya yang gemuk terasa letih ada perasaan aneh di
dada dan perutnya menjalar ke seluruh tubuh. Orang tua bertubuh gemuk ini kelihatan
mengernyit lalu memegangi dada dan perutnya. Sesaat kemudia satu jeritan keras
keluar dari mulutnya. Bersamaan dengan itu darah segar ikut menyembur.
“Kurang ajar ! Aku diracun....” Hanya kata-kata itu yang sempat
diucapkannya. Lalu tubuhnya yang hampir 200 kati itu roboh ke pinggiran ranjang.
Sepasang matanya yang sipit mendelik.
Begitu Dewa Ketawa roboh ke ranjang, pintu kamar tampak terbuka. Angling
Kamesworo muncul bersama sepuluh orang perajurit. Dua diantara memebawa
sebuah tandu.
“Gotong orang itu ke luar. Naikkan ke atas gerobak bersama keledainya.
Buang mayatnya dan keledai di jurang dalam dekat Candi Gajah ! Ingat baik-baik apa
yang kalian lakukan adalah rahasia besar. Jika sampai bocor kepala kalian semua akan
kupancung tanpa ampun !”
Sepuluh orang perajurit itu segera masuk ke dalam kamar. Tubuh gemuk
Dewa Ketawa dibujurkan di atas tandu lalu digotong keluar kamar. Angling
Kamesworo kemudian mengambil buntalan di atas meja. Ketika diperiksanya isinya
ternyata memang dua buah bonang milik Keraton yang lenyap dicuri orang lebih dari
tujuh tahun silam. Pemuda ini menyeringai. Dua buah bonanag itu dipegangnya satu
di tangan kiri satu lagi di tangan kanan. Lalu perlahan-lahan dua buah tonjolan
bonang diadunya satu sama lain. Terdengar suara tidak seberapa keras tetapi diikuti
gema yang panjang tanda dua buah peraltan itu memang dibuat dari logam yang
bukan sembarangan.
Angling Kamesworo memasukkan dua buah bonang itu kembali ke dalam
buntalan.Lalu cepat-cepat keluar dari kamar, kembali ke kamarnya sendiri. Ketika
keluar pemuda ini seudah berganti pakaian. Tak lama kemudian dalam kegelapan
tampak dia memacu seekor kuda menuju selatan yaitu berlawanan arah dari arah yang
ditempuh rombongan yang membawa sosok tubuh Dewa Ketawa dan keledainya. Di
luar Kotaraja wakil patih kerajaan ini membelok ke timur mengikuti sebuah sungai
kecil. Di satu tempat dimana air sungai cukup dangkal dia menyeberang kemudain
memacu tunggangannya menuju daerah bebukitan yang jarang didatangi orang.
BASTIAN TITO 46
SEPULUH
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Candi Gajah di bukit Imogiri kini tak lebih dari sebuah reruntuhan saja. Patung
Gajah besar di halaman depan hanya tinggal bagian tubuh dan empat kaki dalam
keadaan rusak sedang kepalanya lenyap entah kemana.
Jauh sebelum tengah malam seorang lelaki muda berkumis dan berjanggut
lebat kelihatan berada di tempat. Dia sengaja naik ke atas sebatang pohon berdaun
rimbun lalu duduk di sebuah cabangnya yang gelap kelindungan. Orang ini agaknya
tengah menunggu seseorang.
Tapi yang ditunggu tidak muncul-muncul. Orang ini mulai kesal. Waktu
berjalan seolah merayap. Apalagi udara malam di bukit Imogiri itu cukup dingin dan
nyamuk hutan menyengat laksana menyerbu.
“Sialan, tak ada yang muncul. Jangan-jangan aku ditipu perempuan berwajah
nenek dan gadis itu,” pikir si pemuda.
Dari atas pohon dia memandang berkeliling ke bawah.
Gelap dan sepi. Tapi tidak. Kesepian itu dipecahkan oleh suara derap kakikaki
kuda.
Orang di atas pohon sekali lagi memandang ke bawah.
Dari kegelapan malam muncul seorang penunggang kuda. Orang ini
mengenakan jubah putih, memakai tapi merah berbentuk tarbus. Sebuah kumis tipis
menghias mulutnya sedang di dagunya ada secuil janggut berkeluk. Di leher dan
hampir seluruh badan kuda bergelantungan berbagai macam buntalan kain.
Orang ini berhenti di depan reruntuhan candi Gajah lalu turun dari kudanya.
Sesaat dia memandangi keadaan candi itu termasuk patung gajah. “Sayang.....”
terdengar dia berkata sendirian. “Dulunya candi ini pasti megah dan bagus.”
“Sekarang rusak tak ada yang memelihara. Sebaiknya aku istirahat dulu di
tempat ini.”
Dari dalam salah satu buntalan orang ini mengeluarkan sepotong makanan lalu
pergi duduk di tangga candi menyantap makanan ini.
Orang di atas pohon untuk beberapa lamanya masih mendekam
memperhatikan orang yang duduk di tangga candi.
“Siapa kiranya orang yang membawa begitu banyak buntalan di kudanya?”
Setelah menunggu sesaat lagi akhirnya orang di atas pohon melompat turun.
Langsung menghampiri orang berjubah putih yang sedang enak-enak istirahat sambil
makan.
Munculnya orang tak dikenal apalagi melompat turun dari atas pohon
ditambah orangnya memiliki kumis dan janggut tebal, tentu saja mengejutkan orang
yang duduk di tangga. Dia melompat dan bergerak cepat ke arah kudanya.
“Saudara, kau siapa…..?” tanya si kumis tebal.
“Katakan dulu kau siapa,” jawab si kumis tipis.
“Aku gelandangan yang kebetulan tersesat di tempat ini.”
Si kumis tipis memperhatikan orang di hadapannya sesaat. Dia menaruh syak
wasangka. “Sulit dipercaya ada gelandangan tersesat ke tempat sepi begini , malam
buta pula !”
“Lalu kau anggap siapa kau ini ? Orang jahat ? Rampok ?!”
“Mungkin sekali ! Kalau tidak mengapa tadi kau sembunyi di atas pohon sana.
Berarti kau sengaja mencegat jalan orang. Jika kabu berani berbuat jahat padaku, kau
akan menyesal !
BASTIAN TITO 47
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
“Hem... begitu ? Kulihat kau membawa banyak buntalan. Apa isinya?”
“Perlu apa kau mau tahu? Kalau mau lihat harus ada uang !”
“Gila ! Mau lihat saja pakai uang !”
“Kalau kau tak mau membeli buat apa melihat-melihat segala ?!”
“Nah, rupanya kau seorang pedagang keliling. Pantas begini banyak dan sarat
buntalanmu.”
“Kalau sudah tahu, apakah kau punya uang untuk membeli selembar baju ?”
“Aku tak punya uang,” jawab sikumis tebal.
“Kau tak punya uang tak usah bicara denganku. Jangan ganggu, aku ingin
istirahat barang sebentar.” Orang berjubah putih dab bertarbus merah itu
menghabiskan makanannya cepat-cepat. Lalu dia berpaling pada lelaki berkumis tebal.
“Kenapa kau masih di sini ?”
“Memangnya ada yang melarang aku tak boleh di sini ?!”
“Ada !”
“Siapa ?!”
“Aku !” jawab si jubah putih yang pedagang keliling.
Lelaki berkumis tebal tertawa gelak-gelak. “Bicaramu enak amat. Sepertinya
tempat ini nenek moyangmu yang punya!”
“Jangan bicara seenakmu!” bentak si pedagang keliling.
“Jangan mengatur orang seenaknya!”
“Sudah! Aku tak mau bicara denganmu!”
“Siapa bilang aku suka bicara dengan orang sepertimu!” balas si kumis lebat.
Kedua orang itu sama-sama membuang muka dan berdiam diri. Tapi tak
sengaja keduanya sama-sama berpaling dan saling pandang. Lalu cepat-cepat
keduanya memalingkan wajah lagi. Beberapa saat berlalu. Lelaki berkumis lebat
memutar kepalanya, memeperhatikan orang yang duduk di tangga. Tak tahan rupanya
dia duduk diam-diam saja.
“Hai!” tegurnya. Si kumis tipis diam saja. “Hai! Kalau mau dagang jangan ke
tampat sunyi begini. Malam hari pula! Siapa yang mau beli?! Hantu?!”
“Kau tentu saja tidak bakal membeli karena tidak punya uang. Aku mau
dagang aku pergi kemana sukaku. Rejeki seseorang datangnya tidak pandang waktu
dan tempat! Kau sendiri apa keperluanmu malam-mamal buta berada di sini?!”
“Itu bukan urusanmu.....”
“Agaknya kau tengah menunggu seseorang. Siapa yang kau tunggu?”
“Si kumis tebal jadi kesal. “Apa urusanmu tanya-tanya?!”
“Di sini hanya kita berdua. Bicara dan saling tanya apa salahnya!” balas si
pedagang.
“Tadi kau sendiri yang bilang tidak suka bicara denganku. Kini malah
mengajak omong!”
“Aku berubah pikiran!” jawab si kumis tipis lalu tersenyum. Kedua matanya
menatap tajam pada orang yang tegak di bawah pohon itu. Sebaliknya orang yang di
bawah pohon juga memandang dengan cara yang sama.
“Dengar aku tahu siapa kau adanya,” kata si pedagang keliling.
“Aku juga tahu siapa kau sebenarnya,” balas si kumis lebat.
Keduanya sama-sama terdiam sesaat. Lalu mereka sama-sama tertawa
bergelak.
“Kau Pendekar 212 Wiro Sableng! Pasti! Jangan mungkir! Tanggalkan kumis
dan janggut palsumu!”
Lelaki di bawah pohon tampak menggaruk kepalanya.
BASTIAN TITO 48
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Perlahan-lahan kedua tangannya digerakkan ke wajahnya. Srett....srett! Kumis
tebal yang tadi menempel di bawah hidung tanggal lalu dicampakkannya ke tanah.
Begitu wajah orang ini licin klimis kecuali tambutnya yang kemudian dikeluarkannya
dari balik penutup kepala. Ternyata dia berambut gondrong dan memang bukan lain
adalah Wiro Sableng Pendekar 212.
Sambil menyengir Wiro berkata. “Sekarang giliranmu. Kau pasti si nenek
yang mengaku pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Nenek-nenek yang wajahnya
bisa bisa berubah jadi seorang gadis cantik jelita!”
Orang yang duduk di tangga candi tertawa geli. Sekali tangannya bergerak
maka lepaslah topeng tipis yang menutupi mukanya. Kini kelihatan wajahnya yang
asli yaitu wajah seorang perempuan muda berparas cantik jelita.
“Nah apa kataku! Kau memang nenek gadis itu!” kata Wiro.
“Aku bukan nenek, juga bukan gadis.....”
“Jadi....?” Wiro berpikir sejenak. “Astaga! Sekali ini pasti tidak akan salah.
Kau pastilah janda muda bernama Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu!”
Perempuan cantik yang duduk di tangga mengangguk. Lalu dibukanya tarbus
merah di atas kepalanya. Sekali dia menggerakkan kepalanya maka tergerailah
rambutnya yang hitam berkilat sampai ke bahu.
Untuk kedua kalinya murid Eyang Sinto Gendeng terpesona oleh kecantikan
perempuan muda itu. Pertama kali dulu ketika janda ini membuka samaran sebagai
seorang nenek. “Ah, wajahnya memang seindah rembulan empat belas hari. Malah
lebih indah dari rembulan. Rembulan masih ada penyok-penyoknya, yang ini justru
mulus tanpa cacat!” membatin Wiro.
“Nyi Seruni sekarang aku ingin tahu mengapa kau melakukan semua ini.....”
bertanya Pendekar 212.
“Apa yang kau maksud melakukan semua ini?” balik bertanya Nyi Bulan
Seruni Pitaloka.
“Ringkasnya saja yaitu mengapa kau menyuruh bocah bernama Santiko
mencuri dua buah bonang milik Kraton sampai anak itu dipendam dalam lobang inti
es selama tujuh tahun. Lalu mengapa kau meminta aku menemuimu di tempat ini?
Kuminta kau jangan menjebakku....”
Nyi Bulan Seruni tertawa kecil.
“Aku bukan orang jahat. Aku menyesal mendengar Santiko yang sekarang jadi
pemuda berjuluk Bujang Gila Tapak Sakti itu sampai pernah dihukum sandiri oleh
pamannya si Dewa Ketawa. Tujuh tahun lalu memang aku pernah menyuruhnya
mencuri dua buah bonang perlengkapan gamelan Keraton. Itu aku lakukan demi
permintaan suamiku.....”
“Suamimu sekarang berada di mana?” bertanya Wiro.
“Kau ini bagaimana. Kalau aku disebut orang janda tentu aku sudah tak
punyai suami lagi.”
Wiro menyeringai. “Maksudku, apakah kau janda ditinggal mati suami atau
dicerai atau bagaimana....”
“Kau ini ada-ada saja. Suamiku tewas di tangan seorang dikenal dengan
julukan Sepasang Pedang Dewa. Kematiannya justru ada sangkut pautnya dengan dua
buah bonang itu. Dulu dia adalah seorang ahli pembuat bonang. Suatu hari
seperangkatan bonang milik Keraton minta dibersihkkan dan diperbaiki bagianbagiannya
yang rusak atau penyok. Ketika sedang melakukan pekerjaan itu Sepasang
Pedang Dewa muncul. Mula-mula merela bicara baik=baik, lalu terjadi pertengkaran
yang diakhiri dengan perkelahian.
BASTIAN TITO 49
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Suamiku kalah dan tewas di tangan lawan. Namun apa yang hendak dirampas
oleh Sepasang Pedang Dewa itu berhasil diselamatkan nya karena sebelum Sepasang
Pedang Dewa muncul dia telah menyembunyikannya di dalam dua buah bonang yaitu
bonang penerus slindro dan bonang penerus pelog. Sebelum mati dia berpesan agar
dua buah bonang itu diselamatkan dan apa yang disembunyikannya di dalam bonang
harus segera diambil. Namun aku terlupa. Ketika orang-orang dari Keraton datang
mengambil seperangkat bonang itu, aku menyerahkannya begitu saja. Ini di sebabkan
karena aku sangat berduka atas kematian suamiku. Walau dia tiga puluh tahun lebih
tua dari ku, tapi dia seorang suami sekaligus ayah yang baik. Satu minggu kemudian
aku baru ingat akan pesan mendiang suamiku. Itupun setelah aku mendapat mimpi.
Tidak mudah untuk masuk ke dalam Kraton, apalagi harus mencuri dua buah bonang
itu. Aku mendapat akal. Karena bentuknya yang gemuk bulat dan lucu Santiko
menjadi kesayangan orang-orang dalam Kraton. Dia mudah pergi dan masuk kemana
saja. Maka aku menyuruhnya mencurinya.
Kasihan, sebenarnya dia anak baik walaupun suak usil dan kurang ajar.
Pamannya menangkapnya dan menghukumnya di puncak gunung Mahameru. Aku
sendiri menyembunyikan diri dan berusaha memperdalam semua pelajaran ilmu
kesaktian yang kudapat dari suamiku. Jika saja aku dapat mengeluarkan apa yang
disembunyikan suamiku dari dalam dua buah bonang itu, mungkin kepandaianku
sudah stinggi langit sedalam lautan. Itu sebabnya aku menyuruhmu datang kemari
untuk dimintai tolong.....”
“Tunggu dulu,” memotong Wiro. “Jika dua buah bonang itu begitu
berharganya bagimu, mengapa kau serahkan pada si Gergaji Setan dan akhirnya
dilarikan oleh Dewa Ketawa?”
Nyi Bulan Seruni Pitaloka tersenyum yang membuat Pendekar 212 diam-diam
jadi blingsatan melihatnya. Janda yang ditinggal mati suaminya ketika berusia 13
tahun itu berdiri dari tangga candi lalu melangkah mendekati kudanya.
Dari dalam salah satu buntalan barang yang bergantung di leher serta badan
kuda itu dikeluarkannya dua buah benda berwarna kuning lalu diperlihatakannya pada
Wiro. Ketika Wiro memperhatikan ternyata dua buah benda itu adalah dua buah
bonang.
Murid Eyang Sinto Gendeng jadi terheran-heran. “Aku tak mengerti.
Sebelumnya aku menyaksikan sendiri kau menyerahkan dua buah benda seperti itu
pada si Gergaji Setan. Kini mengapa kau masih memiliki dua buah lagi?”
“Pendekar 212, selama aku memiliki dua buah bonang itu keselamatanku
selalu terancam. Banyak orang-orang pandai yang baik dan yang jahat mencariku.
Bukan saja untuk mendapatkan tubuhku. Aku ingin dua buah bonang dan rahasia
yang tersembunyi di dalamnya tidak jatuh ke tangan orang sebisa-bisanya aku buat
dua buah bonang tiruan....”
“Aku mengerti sekarang. Dua buah bonang yang kau berikan pada si Gergaji
Setan adalah bonang-bonang palsu sedang yang asli tetap kau sembunyikan di tempat
aman!”
“Apa yang kau katakan memang betul,” jawab Nyi Bulan Seruni Pitaloka.
“Kau benar-benar cerdik. Sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan dua
buah bonang itu?” bertanya Wiro.
“Aku akan mengembalikannya ke Keraton. Mungkin dengan minta tolong lagi
pada Bujang Gila Tapak Sakti. Namun sebelum kukembalikan aku ingin mengambil
dulu apa yang tersembunyi di dalamnya, lalu.....”
“Nyi Bulan! Kau memang cerdik. Tapi kecerdikanmu hari ini berakhir sudah.
Jika kau sayang nyawa lekas serahkan dua buah bonang dalam buntalan itu padaku !”
BASTIAN TITO 50
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Satu suara bergema keras di tempat sunyi itu. Dua buah bayangan berkelebat. Tahutahu
Nyi Bulan sudah diapit oelh dua orang bertubuh tinggi kekar. Satu sudah berusia
lanjut satunya lagi masih muda.
Nyi Bulan Seruni Pitaloka terkejut besar. Dia cepat berpaling dan segera
mengenali orang yang ada di sebelah kanannya, yakni lelaki berusia lanjut berambut
putih dan mengenakan jubah merah. Pada pinggang jubahnya kiri kanan tergantung
masing-masing sebilah pedang. Lelaki yang lebih muda bukan lain adalah Angling
Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang satu ini memang segera pula dikenali oelh
Pendekar 212. Ada apa pemuda ini tiba-tiba berada di tempat ini, begitu Wiro berpikir.
Di samping itu dia mencium adanya bahaya mengancam Nyi Bulan. “Nyi Bulan ada
hubungan apa antara kau dengan orang-orang ini?’
“Yang ini adalah Sepasang Pedang Dewa,” jawab Nyi Bulan seraya menunjuk
tepat-tepat ke arah lelaki berambut putih yang mengenakan jubah merah. “Pembunuh
keparat ini berani muncul! Hari ini akan membalaskan dendam kesumat kematian
suamiku!”
Sepasang Pedang Dewa ganda tertawa. “Tadi aku sudah bilang. Kalau sayang
nyawa lekas serahkan dua buah bonang itu !”
“Langkahi dulu mayatku baru kau bisa mendapatkan benda-benda itu !” teriak
Nyi Bulan. “Kalau begitu bersiaplah untuk mati !” bentak Sepasang Pedang Dewa.
Sret ! Srett ! Dua pedang yang tergantung di pinggangnya melesat keluar.
BASTIAN TITO 51
SEBELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Kita kembali dulu pada beberapa peristiwa yang terjadi sebelum munculnya
Sepasang Pedang Dewa dan Angling Kamesworo di Candi Gajah.
Angling Kamesworo melarikan kudanya mendaki puncak salah satu bukit luat
Kotaraja yang jarang didatangi manusia. Kuda tunggangannya rupanya sudah sering
menempuh jalan itu hingga binatang ini mampu berlari dengan kencang dan dalam
waktu singkat sampai di puncak bukit paling tinggi. Dalam kegelapan tampak sebuah
bangunan kayu berbentuk panggung. Di kolong bangunan enam ekor anjing besar
melompat dan menggarang lalu mulai menyalak begitu Angling Kamesworo muncul
bersama kudanya. Anjing-anjing itu menyalak terus sambil mengurung kuda bahkan
jelas siap hendak menyerang.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara orang bertanya “Siapa yang
datang ?!”
“Saya guru! Angling Kamesworo!”
Lalu dari dalam rumah panggung terdengar suara suitan keras. Enam ekor
anjing menggerang pendek dan berbalik lalu lari kembali mendekam di bawah kolong
rumah. Angling Kamesworo tidak turun dari kudanya. Dari atas panggung binatang
ini dia langsung melompat ke serambi depan rumah.
Di tangan kirinya tergenggam buntalan berisi dua buah bonang hasil meracuni
orang tua itu sampai mati!
Begitu kakinya menginjak lantai srambi begitu pintu depan bangunan terbuka.
Angling Kamesworo segera masuk. Pintu tertutup kembali. Di dalam rumah, di
bawah penerangan lampu minyak besar tampak duduk di kursi goyang seorang lelaki
berusia lebih dari setengah abad berambut putih. Seseorang perempuan berwajah ayu,
berkulit hitam manis terbaring melintang di atas pahanya dan lengan-lengan kursi
goyang.
Perempuan ini mengenakan pakaian yang sangat minim hingga Angling
Kamesworo dapat melihat setiap lekuk dan sudut tubuhnya. Begitu si pemuda masuk,
orang di atas kursi goyang mengelus paha si hitam manis itu seraya berkata.
“Masuklah dulu ke kamar. Aku ada tamu yang membawa urusan penting!”
Si jelita hitam manis itu turun dari pangkuan orang berjubah merah. Ketika
berdiri pakaian minim yang menutupi tubuhnya jatuh dan tercampak di lantai. Tapi
dia tidak berusaha memungutnya malah enak saja dia melangkah menuju ke kamar,
membuat Angling Kamesworo sesaat jadi tertegun.
“Angling, kau membawa kabar apa untukku?!” si jubah merah yang adalah
Sepasang Pedang Dewa bertanya.
“Saya membawa kabar baik, guru. Saya telah mendapatkan dua buah bonang
itu.”
Sepasang Pedang Dewa melompat dari duduknya. Langsung saja dia
menyambar buntalan yang dibawa muridnya dan mengeluarkan isinya.
“Kau hebat!” memuji Sepasang Pedang Dewa sambil tersenyum lebar dan
menimang-nimang dua buah bonang itu. Parasnya tiba-tiba berubah.
“Ada apa guru?”
“Ceritakan dulu bagaimana kau mendapatkan dua buah benda ini.”
Angling Kamesworo lalu bercerita.
“Ceritamu meyakinkan. Tapi aku merasa was-was. Coba kuperiksa dulu dua
bonang ini.” Lalu Sepasang Pedang Dewa malangkah ke dekat lampu. Nyala api
BASTIAN TITO 52
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
lampu diperbesarnya. Dua buah bonang ditelitinya berulang kali, dibolak-baliknya
tiada henti. Jari-jari tangannya berkali-kali mengusap bagian bawah dua buah bonang
itu. Tiba-tiba bonang-bonang itu dibantingkannya ke lantai.
“Palsu! Dua buah bonang itu palsu!” teriaknya. Lalu dia berpaling dengan
marah pada Angling Kamesworo. “Kau yang mempermainkan aku atau kau yang
tolol dipermainkan orang!”
Paras Angling Kamesworo berubah pucat. “Mana saya berani
mempermainkan guru. Saya mendapat dua buah bonang itu malah sampai membunuh
Dewa Ketawa dengan racun yang dimasukkan dalam kopinya.....”
“Aku tidak perduli bagaimana kau mendapatkan bonang-bonang palsu itu.
Lekas ikuti aku! Kita harus mendapatkan bonang-bonang yang asli!” teriak Sepasang
Pedang Dewa lalu didorongnya tubuh muridnya ke arah pintu hingga Angling
Kamesworo hampir terjengkang.
Bujang Gila Tapak Sakti walaupun tertinggal jauh di belakang namun dia
sudah bisa menduga kemana Dewa Ketawa akan membawa dua buah bonang yang
didapatnya dari pembantu Nyi Bulan Seruni Pitaloka itu. Maka dia segera menuju
Kotaraja dengan tujuan terus mendatangi gedung Kepatihan.
Namun di luar kota pemuda gendut berpeci kupluk ini berpapasan dengan
serombongan perajurit yang memacu sebuah gerobak. Di atas gerobak itu dilihatnya
seekor binatang yang bukan lain adalah keledai milik pamannya. Terheran-heran
Bujang Gila Tapak Sakti berhenti di tepi jalan dan memeperhatikan rombongan itu
berlalu hingga akhirnya lenyap di kejauhan. Dia sama sekali tidak tahu kalau di lantai
gerobak tergeletak sosok tubuh pamannya si Dewa Ketawa.
Untuk beberapa lamanya Bujang Gila Tapak Sakti berdiri bimbang apakah dia
akan terus ke Kotaraja atau mengikuti rombongan itu. Akhirnya dia memutuskan
untuk mengejar rombongan saja. Walau tubuhnya hampir 150 kati namun berkat
kesaktiannya Bujang Gila Tapak Sakti mampu berlari secepat angin. Dalam waktu
singkat dia berhasil mengejar rombongan yang membawa keledai itu tak berapa jauh
dari bukit Imogiri.
“Rombongan harap berhenti!” teriak Bujang Gila Tapak Sakti.
Seorang perajurit yang ditugaskan memimpin rombongan berpaling. Dia
terkejut sekali ada seorang pemuda luar biasa gemuk mampu berlari sekencang itu
dan memerintahkan rombongannya berhenti. Karena curiga maka dia memerintahkan
kawan-kawannya untuk bergerak terus. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti akhirnya
berhasil menyusul dan menghadang di depan mau tak mau rombongan itu terpaksa
berhenti.
“Babi gendut ada apa kau menghadang perjalanan orang! Apa kau tidak tahu
kami adalah perajurit-perajurit Kepatihan?!”
Plaaakkkk!
Perajurit pemimpin rombongan yang barusan membentak terpelanting dari
kudanya begitu disambar tamparan Bujang Gila Tapak Sakti. Mulutnya pecah, dia
mengerang sebelum pingsan. Melihat kejadian ini dua orang perajurit yang hendak
bertindak jadi bimbang. Mereka maklum kalau tengah berhadapan bukan saja dengan
seorang berkepandaian tinggi tapi mungkin pula berotak miring.
“Kalian mau bawa kemana keledai itu?” bertanya Bujang Gila Tapak Sakti.
Tak ada yang menjawab.
Plaaakkk!
BASTIAN TITO 53
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Untuk kedua kalinya tamparan Bujang Gila Tapak Sakti menyambar. Satu
korban lagi menggelinding jatuh dari punggung kuda.
“Jika tidak ada yang mau menjawab, satu demi satu kalian akan kuhajar!”
mengancam Bujang Gila Tapak Sakti.
Beberapa orang perajurit memang tampak takut. Tapi empat orang diantaranya
menunjukkan sikap lain. Melihat dua kawannya terkapar di tanah seperti itu
keempatnya segera mencabut senjata masing-masing lalu menyerang Bujang Gila
Tapak Sakti. Si gendut yang merasa mendapat jalan untuk melampiaskan amarahnya
segera saja menyambut keroyokan orang. Tangan kiri kanan berkelebat kian kemari.
Terdengar suara bak-buk-bak-buk disertai jerit kesakitan empat perajurit yang
jatuh saling tindih di tanah.
Keempatnya menderita cidera berat. Ada yang hancur pipinya, remuk tulang
dada atau berpatahan tulang–tulang iganya.
Justru pada saat mengamuk itulah Bujang Gila Tapak Sakti mendekati
gerobak dan tiba-tiba melihat sosok tubuh Dewa Ketawa yang menggeletak di lantai
gerobak. Pemuda ini menjerit keras lalu melompat ke atas gerobak. Dia melengak
ketika melihat sekujur kulit tubuh pamannya itu sampai ke wajahnya yang gemuk
berwarna hitam kebiruan.
“Kurang ajar! Siapa yang punya perkejaan ini?!” teriak Bujang Gila Tapak
Sakti keras sekali hingga perajurit-perajurit yang masih ada di sana tergagau kaget
dan kecut.
“Kami.....kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami hanya disuruh membawa
keledai dan mayat orang gemuk ini untuk dibuang ke dalam jurang dekat sini.....”
seorang perajurit menjawab dengan ketakutan.
“Kurang ajar! Siapa yang menyuruh kalian?!”
Mula-mula tak ada yang berani menjawab. Ketika Bujang Gila Tapak Sakti
mulai menggerang tanda kemarahannya semakin mendidih akhirnya seorang perajurit
membuka mulut.
“Raden Angling Kamesworo yang menyuruh kami....”
“Pembantu Patih Kerajaan itu?!”
“Betul,” jawab si perajurit pula. Lalu dia memberi isyarat pada temantemannya.
Semua perajurit yang masih duduk di punggung kuda masing-masing
segera saja menggebrak tunggangan mereka lalu kabur dari tempat itu.
Di atas kereta Bujang Gila Tapak Sakti menggebuk pantat keledai kurus itu
seraya memaki “Binatang keparat! Turun dulu kau ke tanah! Jangan enak-enakan
nongkrong di atas gerobak ini!”
Dipukul pantatnya keledai itu melompat turun dari gerobak. Bujang Gila
Tapak Sakti membungkuk lalu meletakkan telinganya ke dada kiri Dewa Ketawa. Dia
tidak pasti apakah dia dapat mendengar detakan jantung pamannya itu atau tidak.
Namun dia tidak mau menunggu lebih lama. Dia tahu pamannya itu berada di
bawah pengaruh racun yang sangat jahat. Maka dengan ujung sebuah golok
ditorehnya urat besar dekat pergelangan tangan kiri Dewa Ketawa. Lalu dengan
mulutnya dia mulai menyedot darah yang ada dalam tubuh pamannya itu.
Setiap mulutnya penuh darah yang disedotnya disemburkan keluar. Begitu
berulang kali sampai sedikit demi sedikit warna hitam biru pada sekujur tubuh orang
tua gemuk itu menjadi berkurang. Bujang Gila Tapak Sakti merasa lega sekali begitu
dia menangkap suara erangan halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Orang tua
gemuk ini lalu ditelungkupkannya di atas lantai gerobak. Bajunya disingkapkan di
bagian punggung. Kedua tangannya diusapkan satu sama lain hingga ada hawa sangat
dingin membersit keluar. Dengan hati-hati Bujang Gila Tapak Sakti meletakkan
BASTIAN TITO 54
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kedua telapak tangannya di punggung Dewa Ketawa lalu dia mulai mengerahkan
tenaga.
Suara erangan orang tua itu semakin keras terdengar begitu hawa sakti yang
mengalir dari telapak tangan Bujang Gila masuk merasuk ke dalam sekujur tubuh
termasuk peredaran darahnya. Perlahan-lahan Dewa Ketawa membuka kedua
matanya yang tadinya mendelik tapi sempat dipejamkannya. Begitu dia melihat
tampang Bujang Gila Tapak Sakti, Dewa Ketawa menyeringai lalu umbar tawa
panjang.
“Brengsek! Jangan ketawa dulu! Nyawamu masih berada di ujung tanduk!”
kata Bujang Gila Tapak Sakti memberi ingat.
“Anak setan! Kau rupanya yang menolongku!” kata Dewa Ketawa lalu
tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia melompat dan berdiri di atas gerobak.
“Awas! Kau masih belum sembuh!” sang keponakan mengingatkan lagi.
“Siapa bilang aku belum sembuh! Mari ikut aku ke tempat kediaman Angling
Kamesworo. Pembantu patih sialan itu yang meracuniku !” Dewa Ketawa keluarkan
suara tawa mengekeh. Tiba-tiba dia ingat akan buntalannya. Dia memandang
berkeliling. “Heh...dimana buntalan itu ?!” dia bertanya seolah pada diri sendiri
sambil memijit-mijit keningnya.
“Buntalan apa paman ?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Buntalan berisi dua buah bonang milik Keraton.”
“Kalau Angling Kamesworo yang meracunimu, pasti dia pula yang
mengambil benda-benda itu!” kata Bujang Gila Tapak Sakti.
“Kalau begitu aku ingin segera membekuk batang lehernya. Kita ke gedung
Kepatihan sekarang juga!” Dewa Ketawa melompat turun dari gerobak. Bujang Gila
Tapak Sakti menyusul. Dia segera mencari kuda paling besar sedang pamannya sudah
naik ke atas punggung keledai. Baru saja keduanya hendak bergerak pergi tiba-tiba di
kejauhan terdengar suara kaki-kaki kuda mendatangi.
“Santiko, lekas sembunyi. Kita tidak tahu apakah yang datang teman atau
lawan!” kata Dewa Ketawa.
Kedua orang itu lalu mendekam di tempat gelap. Tak lama kemudian dua
penunggang kuda muncul. Mereka berhenti di tempat itu. Yang pertama adalah orang
tua berjubah merah yakni Sepasang Pedang Dewa sedang satunya jelas Angling
Kamesworo. Pembantu patih Kerajaan ini jadi melengak kaget ketika melihat
beberapa orang perajurit berkaparan di tanah dalam keadaan cidera berat. Dia
berpaling pada Sepasang Pedang Dewa.
“Ini adalah rombongan perajurit yang saya perintahkan untuk membuang
mayat Dewa Ketawa bersama keledai tunggangannya! Tapi guru lihat sendiri. Keledai
itu tak ada di sini. Mayat Dewa Ketawapun lenyap! Lalu siapa pula yang membunuh
perajurit-perajuritku ini!”
“Sudah! Perlu apa mengurusi manusia dan keledai keparat itu serta perajuritperajurit
tengik ini!” tukas Sepasang Pedang Dewa. “Kita ada urusan yang lebih
penting. Kuharap saja laporan dari orang kepercayaanku benar adanya.”
Ada pertemuan antara Pendekar 212 Wiro Sableng dan Nyi Bulan Seruni
Pitaloka di Candi Gajah tengah malam ini. Kita harus segera menuju ke sana,
membekuk batang leher janda itu dan merampas dua buah bonang pusaka dari
tangannya!”
Di tempat gelap, sebenarnya Bujang Gila Tapak Sakti sudah gatal tangannya
untuk menyerang dan menghajar habis-habisan Angling Kamesworo. Lebih lagi si
gendut Dewa Ketawa. Namun orang tua ini masih mampu menahan hawa amarahnya
BASTIAN TITO 55
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
ketika keponakannya berisik mengatakan bahwa dia hendak menghancur lumatkan
Angling Kamesworo.
“Anak setan gendut sialan! Jangan bertindak ceroboh. Membunuh pembantu
Patih Kerajaan itu tidak ada sulitnya. Tapi dengar apa yang tadi mereka bicarakan?
Nyi Bulan dan Pendekar 212 mengadakan pertemuan rahasia di Candi Gajah.”
Jangan-jangan pemuda sahabat kita itu sudah menjadi pengkhianat. Bekerja
sama dengan Nyi Bulan Seruni yang jelas-jelas talh mencuri dua buah bonang itu!”
Ucapan terakhir sang paman membuat Bujang Gila Tapak Sakti merasa tidak
enak karena dirinya sendiri juga terlibat dalam pencurian itu. Malah dia yang
bertindak langsung melakukan pencurian tujuh tahun lalu. Apakah sang paman
menyindirnya saat ini?
Ketika Angling Kamesworo dan Sepasang Pedang Dewa meninggalkan
tampat itu, Dewa Ketawa memberi isyarat pada Bujang Gila. Paman dan keponakan
ini lalu menggebrak tunggangan masing-masing ke arah yang sama yaitu jurusan
bukit Imogiri.
BASTIAN TITO 56
DUA BELAS
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Orang berjubah merah itu tidak percuma dijuluki Sepasang pedang Dewa. Begitu
kedua tangannya bergerak memutar sepasang pedang maka bertaburlah dua cahaya
putih dalam gelapnya malam.
Breet! Breett!
Nyi Bulan Seruni Pitaloka terpekik dan melompat mundur. Jubah putihnya
robek di bagian dada dan perut hingga sebagian auratnya tersingkap lebar.
Sepasang Pedang Dewa menyeringai.
“Itu peringatan terakhir Nyi Bulan!” katanya sambil melintangkan sepasang
pedang di depan dada. “Apa kau masih belum mau menyerahkan dua buah bonang
itu?!”
“Rampok busuk! Keluarkan kepandaianmu kalau memang bisa mengambilnya
dariku!” teriak Nyi Bulan.
Sepasang Pedang Dewa tertawa mengekeh. “Kau benar-benar perempuan
nekad. Tapi aku ada usul. Kecantikan sudah lama kuketahui. Ternyata tubuhmu juga
sangat bagus. Bagaimana kalau kau ikut saja ke tempatku secara baik-baik. Kita bisa
hidup bersama. Dua buah bonang itu milik kita berdua!”
“Tua bangka tak tahu diri! Jangankan aku! Kambingpun tak bakal suka
padamu!” teriak Nyi Bulan.
Tampang Sepasang Pedang Dewa jadi gelap membesi.
Sambil membentak kembali dia menyerang dengan dua pedangnya.
Kali ini Nyi Bulan tidak tinggal diam. Dia berlaku cerdik. Dia menyambut
serangan lawan dengan mempergunakan dua buah bonang untuk menangkis. Hal ini
membuat Sepasang Pedang Dewa menjadi serba salah. Kalau dia terus melanjutkan
menyerang ada kemungkinan dua buah bonang itu kena hantaman senjatanya. Kalau
bonang-bonang tersebut sampai rusak, berarti akan merusak pula rahasia besar yang
tersimpan di dalamnya!
“Aku harus merampas dua buah bonang itu! Aku akan telanjangi dia sekujur
tubuhnya. Kalau sudah tak berpakaian lagi masakan dia tidak akan menjatuhkan apa
yang dipegangnya guna menutupi aurat!” Begitu Sepasang Pedang Dewa berpikir dan
kembali menyerbu. Dua pedangnya meluncur, membabat dan menusuk kian kemari,
membuat Nyi Bulan jadi sibuk sekali. Dua senjata lawan menyayat dan merobek
pakaiannya di beberapa tempat hingga auratnya semakin tersingkap. Apa yang ada di
benak lawan akhirnya terbaca juga oleh Nyi Bulan. Dia melirik pada Pendekar 212
lalu berteriak “Wiro! Selamatkan dua buah bonang ini!” Lalu secepat kilat dua buah
bonang dilemparkannya ke arah Pendekar 212. Namun ketika masih melayang di
udara tiba-tiba ada tiga orang yang melompat dan berusaha menangkap benda-benda
itu.
Yang pertama adalah Angling Kamesworo, wakil Patih Kerajaan. Yang kedua
adalah dua manusia gendut besar yang baru saja sampai di tempat itu dan bukan lain
adalah Dewa Ketawa dan Bujang Gila Tapak Sakti.
Sesaat Pendekar 212 jadi terkesiap melihat apa yang terjadi. Lalu dia
bertindak cepat. Sebelum ada yang sempat menyentuh dua buah bonang itu, Wiro
lepaskan pukulan “benteng topan melanda samudera” sekaligus dengan kedua
tangannya. Dua gelombang angin menggebubu dahsyat. Debu dan pasir beterbangan.
Daun-daun pepohonan di sekitar tempat itu luruh bermentalan. Dua buah bonang
yang melayang di udara mencelat tinggi ke atas. Tiga orang yang tadi melompat
BASTIAN TITO 57
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
saling mendahului hendak menangkap dua buah benda itu kini jadi saling bertabrakan
lalu sama-sama jatuh duduk di tanah. Yang paling menderita adalah Angling
Kamesworo. Walau tubuhnya tinggi dan kekar namun dibanding dengan luar biasa
besarnya tubuh-tubuh Dewa Ketawa serta si Bujang Gila maka tak ampun lagi dia
sempat tergencat di tengah-tengah sebelum jatuh terduduk di tanah. Pembantu Patih
Kerajaan ini seprti dijepit dua buah batu sebesar rumah. Dua tulang iganya patah dan
di keningnya tampak benjut besar!
Selagi tiga orang itu berkaparan di tanah Pendekar 212 Wiro Sableng cepat
melompat dan tanpa banyak kesulitan berhasil menangkap dua buah bonang itu lalu
memasukkannya di balik pakaiannya. Melihat dua buah bonang kini dikuasai Wiro,
Angling Kamesworo walau dalam keadaan cidera cepat berdiri. Tapi gerakannya jadi
tertahan ketika menyadari adanya Dewa Ketawa di tempat itu. “Bagaimana mungkin
orang yang sudah kuracuni sampai mati ini kini berada di sini dalam keadaan
hidup?!” Hanya saja saat itu Angling Kamesworo tidak mau menghabiskan waktu
memikirkan hal itu lebih lama. Dia harus mendapatkan dua buah bonang. Maka dia
melangkah ke arah Pendekar 212.
“Wiro, lekas kau serahkan dua buah bonang itu padaku!”
“Enak betul!” sahut Wiro.
“Kau dulu pernah menyelamatkan Sekar Mindi, puteri Patih Kerajaan. Kau
adalah sahabat Kerajaan. Karena itu lekas serahkan padaku dua bonang! Jasa besarmu
akan kuberi tahu langusng pada Sultan!”
Wiro menyeringai. “Dulu wajahmu memang kulihat wjah pelanduk. Tapi
sekarang sudah berubah jadi harimau yang ada benjut di kepalanya! Dulu aku melihat
wajahmu seperti seekor domba. Tapi sekarang ini tampangmu sama dengan seekor
srigala! Siapa percaya dirimu!”
Terdengar suara tawa mengekeh. Satu sosok gendut melompat ke hadapan
Wiro. Ternyata Dewa Ketawa.
“Aku mendapat tugas dari Kerajaan untuk mengambil dua buah bonang itu.
Jadi serahkan sekarang juga padaku!” kata Dewa Ketawa sambil terus tertawa dan
ulurkan kedua tangannya.
“Sobatku Kerbau Bunting Dewa Ketawa!” menyahuti Pendekar 212, “Dua
buah bonang ini pasti akan kuserahkan padamu. Tapi nanti. Tidak sekarang…..”
“Sobatku muda! Kali ini aku tak mau bergurau! Serahkan dua buah bonang
itu!” kata Dewa Ketawa pula ngotot walau dia masih keluarkan suara tertawa.
Saat itu Bujang Gila Tapak Sakti sudah berdiri pula di samping Dewa Ketawa.
Pemuda berkopiah kupluk dan mengenakan baju terbalik ini berkata “Paman mengapa
kau harus mengurusi dua buah bonang itu! Selesaikan dulu hutang piutangmu dengan
Angling Kamesworo. Bukankah dia yang hendak membunuh meracunimu?!”
“Anak setan! Betul juga ucapanmu! Ha....ha.....ha....!” kata Dewa Ketawa.
“Kalau begitu kau uruslah dua buah bonang itu. Aku akan mematahkan batang leher
manusia culas dan keji ini!”
Angling Kamesworo tahu bahaya yang dihadapinya.
Karenanya begitu Dewa Ketawa melompat menyergapnya, pemuda ini cepat
melayangkan dua buah tinjunya bertubi-tubi ke perut dan dada si gendut. Jotosanjotosan
Angling Kamesworo tentu saja bukan pukulan biasa. Jangankan tubuh
manusia, tembok atau batu saja pasti akan ambruk! Tapi luar biasanya si Dewa
Ketawa yang dihantam bertubi-tubi seperti itu tidak bergeming sedikitpun malah
masih bisa tertawa-tawa.
Penasaran Angling Kamesworo alihkan hantamannya ke muka si gendut.
Sekali ini Dewa Ketawa tidak tinggal diam.
BASTIAN TITO 58
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Orang tua ini monyongkan mulutnya lalu meniup! Perlahan saja!
Serangkum angin halus keluar dari mulut Dewa Ketawa. Angling Kamesworo
merasakan seperti ada tembok tak terlihat menghalangi pukulan-pukulannya.
Bagaimanapun dia mengerahkan tenaga luar dan dalam tetap saja dia tidak mampu
menembus apalagi mendaratkan pukulan ke wajah lawan.
Dewa Ketawa meniup sekali lagi. Kali ini lebih keras.
Puuuhhh!
Angling Kamesworo menjerit keras. Wajahnya seperti dihantam pentungan
besi. Kepalanya seperti copot dan tubuhnya terbanting menghantam patung gajah.
Braak!
Patung batu yang sudah tua itu ambruk. Reruntuhannya menimbun sosok
Angling Kamesworo yang tergeletak di bawahnya antara sadar dan pingsan. Dari
mulut, hidung dan kedua matanya tampak mengucur darah. Dewa Ketawa tarik
tangan pemuda ini hingga dia terbetot keluar dari dalam timbunan reruntuhan lalu
membantingkannya ke tanah. Begitu berulang kali dilakukannya hingga akhirnya
pembantu Patih Kerajaan itu menggeletak tak berkutik lagi. Sekujur tubuhnya babak
belur. Tulang-tulangnya banyak yang patah. Menggerampun dia tak mampu lagi!
Ketika Dewa Ketawa melompat ke hadapan Angling Kamesworo tadi, Bujang
Gila Tapak Sakti segera mendekati Pendekar 212.
“Sobatku Wiro, kau harus berikan dua buah bonang itu padaku. Ini untuk
menebus dosaku pada Kerajaan. Dulu aku yang mencurinya....”
Murid Eyang Sinto Gendeng berpikir. “Kalau aku bertindak keras membuat
urusan dengan si gendut ini bisa jadi kapiran.” Maka Wiropun menjawab. “Sobatku
gendut! Kau tak usah kawatir. Dua buah bonang ini pasti akan kuberikan padamu.
Tapi Nyi Bulan kekasihmu itu bilang dia sendiri yang akan menyerahkannya padamu
nanti. Nah mana aku berani menyalahi pesan kekasihmu itu!”
Bujang Gila Tapak Sakti sesaat jadi tertegun. Lalu dia tersenyum. “Siapa Nyi
Bulan kekasihku?”
“Ah, kau lupa pada ceritamu sendiri tempo hari. Waktu kau mencuri dua buah
bonang ini dengan menyerahkannya padanya, kau kan diciumnya beberapa kali. Nah
kalau kau bukan kekasihnya mana dia mau menciummu! Kau lihat saja, nanti pasti
kau akan diciumnya lagi sampai kau bisa semaput kenikmatan!”
Bujang Gila Tapak Sakti tertegun lagi dan tersenyum lagi. Dia mengusap-usap
kedua pipinya yang gembrot lalu berkata. “Kau benar juga. Kalau begitu biar
kutunggu sampai dia selesai berkelahi dengan orang berjubah merah itu.”
“Nah kau pergilah duduk di tangga candi sana!” kata Wiro selanjutnya.
“Apakah kau membawa kipas saktimu?”
“Tentu saja. Memang kenapa?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.
“Apakah kau tidak merasa kepanasan? Kulihat muka dan ketekmu sudah
basah oleh keringat!”
“Astaga! Kau betul! Untung kau mengingatkan!” kata Bujang Gila Tapak
Sakti. Lalu dia keluarkan kipas kertasnya. Sreett! Kipas dikembangkan. Dia pergi
duduk di tangga candi dan berkipas-kipas memperhatikan perkelahian antara Dewa
Ketawa dan Nyi Bulan Seruni Pitaloka melawan Sepasang Pedang Dewa.
Janda cantik itu sendiri yang sedang menghadapi lawan tangguh dalam hati
sempat memaki-maki mendengar kata-kata Wiro tadi bahwa dia adalah kekasih
Bujang Gila Tapak Sakti dan nanti dia akan menciumnya lagi. Namun karena harus
memusatkan perhatian pada lawan sementara pakaiannya sudah penuh robek-robek di
mana-mana mau tak mau harus melupakan kekesalan hatinya.
BASTIAN TITO 59
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
Saat itu dia sudah berada dalam keadaan terdesak hebat. Dia sama sekali tidak
memiliki senjata dan dua pedang lawan dalam sejurus dua jurus lagi pasti tidak lagi
merobek pakaiannya melainkan akan merobek daging dan memutus tulang-tulang
tubuhnya.
“Saatnya aku harus mengeluarkan ilmu andalanku. Kalau tidak aku akan mati
percuma di tangan bangsat ini!” membatin Nyi Bulan Seruni Pitaloka. Mulutnya
dikatupkan rapat-rapat. Kedua matanya memandang lekat-lekat ke depan. Tiba-tiba
wuss....wuss!
Dua larik sinar hitam melesat keluar dari kedua mata Nyi Bulan. Hawa panas
menghampar membuat Bujang Gila Tapak Sakti seperti di panggang.
“Celaka! Dia benar-benar memiliki ilmu kesaktian sinar sakti pemantek
nyawa!” Sepasang Pedang Dewa berteriak dalam hati ketika melihat dua sinar hitam
yang keluar dari dua mata Nyi Bulan. Orang ini cepat melompat mundur seraya
membabatkan pedangnya untuk melindungi diri.
Dua sinar hitam menyambar dua bilah pedang.
Cess! Cesss!
Dua pedang yang ada dalam genggaman Sepasang Pedang Dewa menjadi
leleh. Pemiliknya berteriak keras dan lepaskan dua senjatanya. Tapi terlambat. Hawa
yang sangat panas keburu menyambar telapak tangannya. Kedua tangan itu kini leleh
mengelupas dagingnnya bahkan tulang telapak tangan dan tulang-tulang jarinya ikut
lumer!
Sepasang Pedang Dewa menjerit terus. Nyalinya ikut leleh membuat dia
dalam sakit yang bukan alang kepalang akhirnya melarikan diri dari tempat itu.
“Nyi Bulan! Kesaktianmu hebat sekali kekasihku!”
Nyi Bulan tersentak dan berpaling. Yang bicara adalah Bujang Gila Tapak
Sakti.
“Sialan! Ini gara-gara Wiro. Si gendut ini benar-benar menganggap aku
kekasihnya!” Nyi Bulan mengomel dalam hati. Lalu dilihatnya Bujang Gila Tapak
Sakti melangkah mendekatinya sambil terus berkipas-kipas dan cengar-cengir. Saat
itu Dewa Ketawa baru saja membanting Angling Kamesworo habis-habisan dan
melangkah ke arah Pendekar 212.
“Nyi Bulan, sobatku Wiro bilang kau sendiri yang akan menyerahkan dua
buah bonang itu padaku. Lalu akan menciumku berulang-ulang. Ah....betapa
bahagianya diriku!” Bujang Gila Tapak Sakti memasukkan kipas kertasnya lalu
berseru pada Pendekar 212. “Wiro, mana dua buah bonang itu. Berikan pada Nyi
Bulan biar dia nanti yang memberikan padaku!”
“Tidak, dua buah bonang itu harus kau serahkan padaku!” Dewa Ketawa
mempercepat langkahnya ke arah Wiro.
“Semua dengar!” tiba-tiba Nyi Bulan berteriak.
“Kekasihku, jangan berteriak keras-keras. Nanti suaramu yang merdu bisa
rusak!” seru Bujang Gila Tapak Sakti.
Nyi Bulan katupkan mulutnya rapat-rapat, kedua matanya memandang
mendelik pada Wiro. Sebaliknya murid Eyang Sinto Gendeng cepat kedipkan mata
memberi tanda. Sebelum Dewa Ketawa datang lebih dekat Wiro cepat berbisik.
“Jangan bodoh. Kita harus menipu manusia-manusia gendut ini. Kalau tidak bakal
menghadapi urusan berat!”
Kemarahan Nyi Bulan mengendur sedikit. Dia berpaling pada Bujang Gila
Tapak Sakti dan tersenyum manis. Senyuman ini membuat si pemuda gendut jadi
blingsatan lalu kedip-kedipkan matanya. Dia juga membersihkan kedua pipinya
dengan ujung-ujung bajunya, setelah itu dia melangkah mendekati Byi Bulan sambil
BASTIAN TITO 60
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
mengangsurkan pipinya. “Kata sobatku itu kau mau cium aku sambil menyerahkan
dua buah bonang.”
“Bagaimana kalau ciumannya dulu, bonangnya boleh nanti boleh
menyusul....”
“Setan betul,” maki Nyi Bulan dalam hati. “Dulu waktu masih bodoh memang
semua orang senag padanya. Sekarang sudah jadi bocah bagini bagaimana mungkin
aku menciumnya!”
Lagi-lagi Nyi Bulan memandang pada Wiro dengan mata dibesarkan.
Sebaliknya kembali Pendekar 212 mengedipkan mata dan berbisik. “Cium
saja cepat. Sambil mencium kau totok tubuhnya!”
Mendengar ucapan murid Eyang Sinto Gendeng itu Nyi Bulan baru mengerti.
Maka dia kembali berpaling dan melangkah mendekati Bujang gila Tapak Sakti
seraya berkata. “Santiko kekasihku! Tujuh tahun lebih kita tak bertemu. Betapa
kangennya aku padamu. Saat ini ingin sekali aku memeluk dan menciummu!”
Mendengar kata-kata itu Bujang Gila Tapak Sakti berteriak girang. Dia
kembangkan kedua tangannya lalu memeluk Nyi Bulan dengan mesra. Ketika janda
jelita ini menciumi pipinya di gendut yang seperti merasa di sorga ini tersenyumsenyum
sambil pejamkan mata. Pada saat itu pula dua tangan Nyi Bulan bergerak
menotok punggung dan dada si pemuda. Tak ampun lagi Bujang Gila Tapak Sakti
menjadi kaku tak bisa bergerak tak bisa bersuara. Ketika Nyi Bulan melepaskan
dirinya dari pelukan pemuda ini, si gendut ini masih tegak dengan sikap kedua tangan
merangkul, mulut tersenyum dan mata terpenjam!
Dewa Ketawa tak bisa ditipu. Dia tahu apa yang terjadi. Segera dia
pergunakan kesaktiannya yaitu meniup dari jauh untuk melepaskan totokan di tubuh
keponakannya. Wiro yang maklum melakukan apa yang akan dilakukan oleh Dewa
Ketawa cepat bergerak menghalangi tubuh Bujang Gila dengan tubuhnya sambil
gerakkan tangan kiri untuk menyingkirkan angin tiupan Dewa Ketawa. Ketika
tangannya tersambar angin tiupan itu murid Eyang Sinto Gendeng merasa seperti ada
ratusan jarum mencucuk! Ketika diperhatikan terlihat darah keluar dari pori-pori di
sekujur lengan kirinya sampai ke telapak. Sakitnya bukan kepalang.
“Lekas keluarkan dua buah bonang itu. Atau kau akan kubuat lumat seperti
pembantu Patih Kerajaan itu!” mengancam Dewa Ketawa.
Saat itu Nyi Bulan sudah tegak di hadapan Dewa Ketawa.
“Orang tua bertubuh gendut. Apakah kau juga minta kupeluk dan kucium?!”
“Eh……!” Dewa Ketawa sesaat jadi tertegun. Lalu sambil menggoyanggoyangkan
tangan dan melangkah mundur dia berkata. “Tidak! Jangan….. aku tidak
butuh peluk dan ciumanmu! Aku hanya inginkan dua buah bonang itu. Aku harus
mengembalikannya pada Sultan sebagai penebus kesalahan keponakanku!”
“Kalau begitu baik. Dua buah bonang itu akan kuserahkan padamu setelah aku
mengambil sesuatu yang jadi milikku dan tersembunyi di dalamnya.” Kata Nyi Bulan.
“Aku tidak mengerti….” Kata Dewa kEtawa sambil menutup mulutnya agar
tidak tertawa dulu.
Nyi Bulan berpaling pada Pendekar 212 dan berkata. “Wiro, keluarkan dua
buah bonang itu. Juga Kapak Naga Geni 212-mu….?”
Wiro mengeluarkan dua buah bonang dari balik pakaiannya lalu
menyerahkannya pada Nyi Bulan.
“Kapaknya?” ujar Nyi Bulan pula.
“Untuk apa....?” tanya Wiro.
“Ketahuilah, menurut suamiku sebelum dia menghembuskan nafas terakhir
ketika dibunuh oleh Sepasang Pedang Dewa, benda rahasia yang tersembunyi dalam
BASTIAN TITO 61
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
dua buah bonang ini hanya mampu dicukil keluar oleh dua macam senjata mustika.
Yang pertama dengan mempergunakan keris sakti keris Nogo Sosro. Yang kedua
dengan senjata berbentuk kapak bermata dua. Keris Nogo Sosro entah berada di mana,
tak mungkin aku mencarinya. Lalu aku melihat kau mengeluarkan Kapak Maut Naga
Geni 212 waktu di pulau Sempu. Kurasa inilah senjata yang dimaksud suamiku. Nah
apakah kau tidak mau mengeluarkan senjata saktimu itu untuk menolong?’
Pendekar 212 garuk-garuk kepala.
Dewa Ketawa maju selangkah. “Nyi Bulan, kalau kau menipuku dan sobatku
ini, jangan salahkan nanti aku sampai membunuhmu!”
Nyi Bulan tidak acuhkan uacapan si gendut itu. Dia cepat mengambil Kapak
Maut Naga Geni 212 begitu dikeluarkan Wiro dari balik pakaiannya. Dua buah
bonang diletakkannya saling berdekat di tangga candi. Lalu Kapak Naga Geni 212
diletakkannya di atas dua buah bonang itu. Mata-mata kapak yang tajam berkilauan
menyentuh ujung-ujung menonjol kedua bonang. Nyi Bulan berpaling pada Wiro dan
Dewa Ketawa. “Kuharap tak ada yang mengeluarkan suara baarng sedikitpun. Kalau
tidak sulit bagiku memusatkan pikiran dan tenaga dalam!”
Dewa Ketawa menekap multnya semakin kuat. Wiro mengangguk sambil
menggaruk kepala. Nyi Bulan pejamkan kedua matanya. Perlahan-lahan dia mulai
mengerahkan tenaga dalam murni dari perutnya. Ketika tenaga dalam itu mengalir
melewati dadanya Pendekar 212 hampir berseru melihat bagaimana sepasang
payudara Nyi Bulan jadi membesar luar biasa.
“Sialan! Baru sekali ini kau melihat buah sorga sebesar itu. Ingin sekali aku
meremasnya!” kata Pendekar 212 dalam hati.
Aliran tenaga dalam meluncur melewati dua tangan Nyi Bulan yang
memegang gagang Kapak Maut Naga Geni 212. Sesaat kemudian kelihatan cahaya
putih pada mata kapak semakin terang dan perlahan-lahan berobah menjadi merah.
Cahaya merah ini lalu membungkus dua buah bonang.
Dalam suasana yang sunyi seperti di pekuburuan itu tiba-tiba terdengar suara
halus jatuhnya sesuatu ke batu tangga candi.
Nyi Bulan menarik nafas lega. Kedua matanya dibuka. Cahaya merah lenyap.
Perlahan-lahan kapak yang dipegangnya diangkat dan diserahkan pada Wiro seraya
mengucapkan terima kasih.
Dengan sangat hati-hati janda cantik ini mengangkat dua buah bonang dari
tangga candi. Di bekas tempat bonang-bonang itu diletakkan, di batu tangga kini
terlihat dua buah benda aneh. Baik Wiro maupun Dewa Ketawa tidak tahu benda apa
itu adanya. Benda ini berbentuk gumpalan aneh seperti diremas menjadi bulat.
Dengan hati-hati, satu persatu Nyi Bulan membuka kedua bena itu. Ketika terbuka
dan terkembang ternyata adalah sehelai potongan kain sutra yang sangat tipis. Pada
potongan kain itu terdapat tulisan-tulisan kuno yang tak bisa dibaca oleh Wiro dan
Dewa Ketawa.
“Nyi Bulan..... Benda apa itu sebenarnya?” tanya Wiro berbisik.
Nyi Bulan tersenyum. “Suamiku berlaku cerdik. Dia sengaja menuliskan
dengan huruf-huruf kuno secara terbalik. Jika tulisan ini dibaca di atas kaca maka
yang pertama isinya adalah ilmu kesaktian yang sangat langka di dunia ini, sedang
yang kedua berisi ilmu pengobatan yang tak ada duanya.
Wiro dan Dewa Ketawa jadi terkesiap mendengar keterangan Nyi Bulan itu.
“Dewa Ketawa, sekarang kalau kau mau ketawa silahkan saja,” kata Nyi
Bulan. Lalu dia berdiri dan menyerahkan dua buah bonang pada orang tua bertubuh
gendut itu. “Dua buah bonang ini tidak cacat barang sedikitpun. Ambillah, bawa
BASTIAN TITO 62
WIRO SABLENG
PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212
kembali ke tempatnya di Keraton. Kuharap kau bisa buas kini karena bisa menebus
kesalahan keponakanmu itu.”
Dewa Ketawa cepat mengambil dua buah bonang itu, memeriksanya sebentar
lalu memasukkannya ke balik pakaiannya.
Nyi Bulan berpaling pada Pendekar 212.
“Wiro, kau banyak menolngku. Aku berhutang budi besar padamu. Sebagai
balasan apakah kau mau ikut aku berjalan-jalan ke dasar bumi?’
“Heh! Apa maksudmu Nyi Bulan?”
Janda jelita itu tak menjawab. Dia memegang lengan Pendekar 212 lalu
mengajaknya berjalan bergandengan. Pada langkah kelima Nyi Bulan hentakkan kaki
kanannya ke tanah.
Di tanah terlihat sebuah lobang besar dan dalam. Nyi Bulan enak saja
meluncur ke dalam lobang itu. Wiro terpaksa membungkukkan tubuh karena
lengannya ikut tertarik.
“Kau mau ikut aku atau tidak Wiro?”
“Ah, bagaimana ini! Aku mau saja. Tapi kau bukannya hendak menguburku
hidup-hidup?”
“Kalau aku bermaksud jahat, berarti kita akan mati terkubur bersama-sama.
Lagi pula coba kau lihat ke bawah sana….”
Wiro ulurkan kepalanya ke dalam lobang. Astaga. Dia tidak percaya pada
pemandangannya. Di bawah sana dia bukannya melihat lorong atau lobang yang
gelap, melainkan menyaksikan satu pemandangan yang indah dari sebuah daerah
pesawahan lengkap dengan sungai dan gunung yang indah sekali.
“Kau mau ikut sekarang?” tanya Nyi Bulan sambil tersenyum.
Wiro langusung saja masukkan kedua kakinya ke dalam lobang. Begitu
keduanya lenyap, tanah yang tadi berlobang kini menutup kembali secara aneh tanpa
bekas sama sekali ! Mata sipit Dewa Ketawa sempat tak berkesip beberapa lamanya
ketika menyaksikan bagaimana di tanah ini terlihat ada dua buah gundukan yang
meluncur, bergerak makin jauh, maikn jauh dan akhirnya lenyap di dalam kegelapan.
“Ilmu berjalan di dalam tanah.... !” seru Dewa Ketawa sambil golenggolengkan
kepala. “Jadi ilmu itu benar-benar ada rupanya....” Setelah menarik nafas
panjang dan mengumbat tawa sepuas-puasnya Dewa Ketawa memutar tubuh.
Berjalan tiga langkah menuju tempat dia meninggalkan keledainya, tiba-tiba dia ingat
pada Bujang Gila Tapak Sakti. Orang tua ini menoleh ke belakang lalu meniup. Hebat
sekali ! Totokan yang menguasai tubuh keponakannya itu serta merta musnah. Bujang
Gila Tapak Sakti kini dapat bergerak dan bersuara lagi. Begitu dirinya bebas pemuda
gemuk ini berteriak keras.
“Nyi Bulan kekasihku! Jangan tinggalkan diriku! Mengapa cacing tanah
berambut gondrong itu yang kau ajak pergi, bukan aku !” Lalu dia jatuhkan diri di
tanah di tempat tadi Nyi Bulan dan Pendekar 212 lenyap masuk ke dalam tanah dan
menangis seperti anak kecil.
Dewa Ketawa lagi-lagi gelengkan kepala. “Anak setan !” makinya. “Kalau
tidak karena kau semua urusan gila ini tidak bakal terjadi !” Orang tua ini akhirnya
tinggalkan tempat itu. Di kejauhan tak lama kemudian terdengar suara langkah
kakinya dan kaki-kaki keledainya. Lalu dalam kegelapan malam di bukit Imogiri itu
kembali terdengar suara gelak tawanya berkepanjangan.
TAMAT
Fujidenkikagawa
BASTIAN TITO 63